Beberapa hari ini kota Aleppo memanas seiring pudarnya gencatan senjata yang berlangsung di Suriah. Puluhan penduduk sipil tewas oleh kebiadaban ISIS dan serangan rusia pesawat udara yang terus mencari ISIS yg bersembunyi dengan menggunakan rakyat sipil sebagai tameng.Aleppo adalah kota terbesar kedua di Suriah dan sebagai pusat industri dan keuangan negara.
Kota terbesar kedua setelah Damaskus ini telah menjadi pusat perdagangan sepanjang sejarah. Menurut sejarawan, Aleppo adalah kota komersial dan industri yang paling berkembang pada kekaisaran Utsmaniyah setelah Konstantinopel dan Kairo.
Aleppo dengan luas wilayah 190 km persegi itu telah memiliki sarana transportasi yang lengkap mulai stasiun hingga bandara. Ia juga terkenal dengan industri tekstil, bahan kimia, farmasi, elektronik dan lainnya, termasuk industri pariwisata yang terus berkembang.
Dalam tahun pertama konflik Suriah, belum terlihat jelas kecamuk perang yang dahsyat sebagaimana kota-kota lainnya. Namun pada bulan Juli 2012, kota itu tiba-tiba menjadi ajang pertempuran yang dahsyat. Oposisi Suriah melancarkan serangan di kota tersebut setelah menguasai wilayah utara Suriah.
Perebutan wilayah setiap hari terus terjadi di Aleppo, antara pihak Oposisi dan Rezim. Hal itu membuat masing-masing pihak memegang satu kontrol wilayah tersendiri, oposisi di bagian timur sedangkan Rezim di bagian barat.
Hingga 2013, pasukan Rezim terus gencar melakukan serangan udara. Dan pada 2015, Rusia memberikan bantuan udara kepada Rezim dan mengerahkan jet-jet tempurnya untuk menghancurkan wilayah-wilayah di kota ini sehingga korban sipil pun semakin bertambah.
Aleppo yang menjadi salah satu kota tertua
Aleppo ataupun “Halab” dalam bahasa Arab, adalah salah satu kota tertua yang masih memiliki penghuni di dunia, yang disebutkan dalam teks-teks Mesir dari abad ke-20 SM.
Sisa-sisa sebuah kuil dari akhir milenium ketiga SM telah ditemukan di benteng yang terkenal Aleppo, dan masih mendominasi daerah tersebut serta memberikan benteng pertahanan selama berabad-abad.
Aleppo berkembang secara politik dan ekonomi selama abad ke-18 SM sebagai ibu kota kerajaan Yamkhad, hingga jatuh ke bangsa Het, sebuah bangsa Anatolia Kuno.
Setelah itu, Aleppo menjadi sebuah kota penting dari periode Helenistik (masa paling berpengaruh bagi kebudayaan Yunani di Eropa dan Asia) dan sebuah pos perdagangan utama bagi pedagang yang lewat di antara Mediterania dan wilayah ini hingga ke timur. Pada akhirnya kota ini berada di bawah Kekaisaran Romawi dan menjadi lalu lintas para kafilah dagang di bawah aturan Byzantium.
Pada 636 Masehi, Aleppo ditaklukkan oleh pasukan Muslim Arab. Sekitar 80 tahun kemudian, pada masa pemerintahan Khalifah Sulaiman dari Daulah Umayyah dibangunlah sebuah Masjid Agung di kota ini.
Pada abad ke-10, Aleppo menjadi ibukota utara dinasti Hamdani Suriah, tetapi kemudian mengalami masa perang dan gangguan, dimana Kekaisaran Bizantium, Tentara Salib, Fatamids dan Seljuk bersaing memperebutkan wilayah itu dan sekitarnya.
Aleppo masih belum normal hingga pertengahan abad ke-12. Kemudian di bawah pemerintahan Ayyubiyah di abad ke-13, kota ini menikmati masa kemakmuran yang besar dan ekspansi yang berkelanjutan.
Tapi masa ini tiba-tiba berakhir tiba-tiba pada tahun 1260, ketika Aleppo ditaklukkan oleh bangsa Mongol. Kota ini kemudian mengalami wabah penyakit di tahun 1348 dan serangan dari Timur pada tahun 1400.
Pada tahun 1516, Aleppo menjadi bagian dari Daulah Utsmaniyah. Setelah itu menjadi pusat perdagangan antara Timur dan Eropa.
Peran Aleppo sebagai pusat transit untuk perdagangan menurun pada akhir abad ke-18 dan terhalang oleh garis demarkasi yang dibuat Perancis dan Kerajaan Inggris di perbatasan Suriah. Garis itu memotong kota dari sebelah utara Turki dan selatan Iraq, sehingga menghilangkan pelabuhan Mediterania dari Alexandria ke Turki pada tahun 1939.
Setelah Suriah merdeka, Aleppo berkembang menjadi pusat industri utama, menyaingi ibukota Damaskus. Penduduknya pun meningkat dalam jumlah besar dari 300.000 menjadi sekitar 2,3 juta pada tahun 2005.
Hari ini, penduduk Aleppo ini terdiri dari mayoritas Muslim Sunni, yang kebanyakan adalah orang Arab. Tetapi beberapa di antaranya adalah orang Kurdi dan Turkman. Kota ini juga memiliki populasi terbesar dari orang-orang Kristen di Suriah, termasuk banyak orang Armenia, serta masyarakat Syiah dan Alawit.
Perang yang Terus Berkecamuk di Aleppo
Kerusuhan di sruiah tumbuh sejak protes kebangkitan dunia Arab tahun 2011, dan meningkat ke konflik bersenjata dengan protes pengunduran diri Pemerintaanh Presiden Bashar al-Assad.
Sorotan dunia internasional kini tengah mengarah ke Kota Aleppo, Suriah. Pekan lalu media-media internasional memberitakan kegembiraan warga sipil di Aleppo setelah kota tempat mereka tinggal dibebaskan dari kepungan para pemberontak.
Militer Suriah dibantu Rusia membombardir kawasan Aleppo timur yang selama ini menjadi daerah kekuasaan pemberontak. Hasilnya, wilayah itu kini berhasil dikuasai tentara dan para pemberontak menyerah.
Bersamaan dengan itu media-media arus utama Barat memberitakan kekejaman tentara Suriah terhadap warga sipil di Aleppo.
Seperti diungkap dari situs Global Research, akhir tahun lalu, Amerika Serikat menginginkan pergantian rezim di Suriah sebagai agenda besar mereka di Timur Tengah. Sejak 2014 AS menyatakan terlibat dalam perang melawan teroris di Irak dan Suriah. Beberapa tahun sebelumnya AS sudah mendukung kelompok oposisi bersenjata yang ingin menggulingkan rezim Basyar al-Assad. Negara Adikuasa itu beralasan mereka ingin melindungi rakyat sipil dari kekejaman rezim pemerintah Suriah. padahal AS berencana membangun apa yg mereka namakan "timur tengah baru" Agenda yang memasukkan adu domba sektarian Syiah-Sunni sebagai bagian dari proses menuju pembentukan Timur Tengah Baru.
AS merangkul Arab Saudi sebagai sekutu untuk menggunakan isu sektarian dengan maksud membuat adu domba antara kelompok muslim Sunni dan Syiah guna mencapai tujuan di Timur Tengah, termasuk di Aleppo, Suriah.
Sesungguhnya Syiah-Sunni itu sesama saudara muslim. Masalahnya bukanlah soal perbedaan Sunni-Syiah tapi ada pihak yang membuat Sunni-Syiah itu bermusuhan karena perbedaan.
Secara garis besar, warga Suriah juga terdiri dari beragam etnis dan penganut agama. Dikutip dari laman Truthdig.com, sebanyak 14 persen adalah penganut Syiah Alawit, 7 persen Kristen, 3 persen Druze, 1 persen Ismaili, 10 persen Kurdi, 30 persen Sunni Arab Sekuler dan 34, 5 persen Sunni Arab taat.
Amerika mendanai dan mempersenjatai apa yang mereka sebut teroris moderat alias Tentara Pembebasan Suriah (FSA) sebagai upaya perlawanan terhadap rezim yang berdaulat. AS mengajak Saudi, Qatar, Israel, Turki untuk mendanai dan memasok senjata kepada kelompok pemberontak buat menggulingkan Assad yang menganut paham Syiah Alawit.
Mulai saat itu suriah terpecah2 oleh pemberontak2 besar dan kecil. Per Februari 2016 pemerintah menguasai 40% Suriah, ISIL menguasai sekitar 20-40%, kelompok pemberontak Arab (termasuk Front al-Nusra) 20%, dan 15-20% dikuasai Pasukan Demokratik Suriah.
Pada 2013 AS secara terbuka mengakui melatih dan mempersenjatai para pemberontak yang kemudian juga termasuk Jabhat Nusra dan ISIS.
Pemberontak FSA yang didukung AS misalnya, berperang bersama ISIS melawan pasukan Suriah selama beberapa bulan pada 2013 untuk merebut pangkalan udara Menagh dekat Aleppo. Salah satu komandan ISIS dalam operasi itu adalah warga Chechnya Abu Umar al Shisani, sosok yang pernah menerima pelatihan militer dari AS sebagai bagian dari pasukan elit Georgia pada 2006. Dia terus mendapat dukungan dari AS pada 2013 lewat FSA.
Bukti dukungan AS terhadap ISIS juga yang membuat Wamenlu Suriah Faisal Mikdad mengatakan perang AS melawan ISIS hanyalah kosmetik belaka. Teorinya AS menyerang ISIS tapi di lapangan justru membantu dan melindungi. Tujuan sebenarnya Negeri Paman Sam dan sekutunya adalah menjatuhkan rezim Assad lewat tangan kelompok pemberontak dan ekstremis macam ISIS dan Jabhat Nusra. Strategi itu dilakukan dengan menyebar isu konflik sektarian Sunni-Syiah.
Ketika Rusia memutuskan terlibat dalam konflik Suriah pada September tahun lalu mereka menyokong militer Suriah dengan bantuan serangan udara. Sasaran Rusia adalah kelompok oposisi dan pemberontak, termasuk ISIS. Hal itu menjelaskan mengapa AS terbukti menolak kerja sama dengan Rusia membantu militer Suriah memerangi kelompok militan ISIS. Kalau memang mereka ingin menumpas ISIS, mengapa tidak bekerja sama dengan Rusia dan militer Suriah menghabisi kelompok militan itu?
Mereka yang menganggap perang di Suriah adalah konflik Syiah-Sunni sebaiknya berpikir lagi. AS sudah sejak lama merencanakan pergantian rezim di Timur Tengah, bekerja sama dengan Saudi menggunakan isu sektarian.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar