PT Freeport Indonesia akhirnya mengakhiri rezim kontrak karya (KK) yang sudah berumur 50 tahun setelah bersedia mengubah statusnya menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK). Hal itu dilakukannya sebagai salah satu syarat agar perusahaan asal Amerika Serikat tersebut bisa kembali ekspor konsentrat yang dihentikan pemerintah sejak 12 Januari lalu.
Dalam regulasi baru yang diterbitkan pemerintah, perusahaan tambang yang diperbolehkan ekspor hanya mereka yang memenuhi sejumlah persyaratan, salah satunya berkomitmen untuk membangun smelter, divestasi 51 persen saham bagi perusahaan asing, serta mengubah status KK menjadi IUPK. Hal tersebut diatur dalam PP No. 1 tahun 2017 tentang Perubahan Keempat atas PP No.23/2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara (PP Minerba).
Selain itu, pemerintah juga menerbitkan dua peraturan menteri ESDM sebagai pelaksanaan dari PP tersebut, yaitu: Permen ESDM No. 5 tahun 2017 Tentang Peningkatan Nilai Tambah Mineral melalui Kegiatan Pengolahan dan Pemurnian Mineral di dalam Negeri, dan Permen ESDM No. 6 Tahun 2017 Tentang Tata Cara dan Persyaratan Pemberian Rekomendasi Pelaksanaan Penjualan Mineral ke Luar Negeri Hasil Pengolahan dan Permurnian.
Dalam konteks ini, perusahaan tambang seperti Freeport yang belum memiliki smelter, berpeluang mendapatkan izin relaksasi ekspor apabila bersedia mengubah status KK menjadi IUPK. Untuk transisi proses itu, pemerintah akan menerbitkan IUPK sementara. Izin sementara itu berlaku bagi perusahaan yang telah mengajukan permohanan dan melengkapi persyaratan perubahan status tersebut.
Juru bicara Freeport Indonesia, Riza Pratama mengatakan pihaknya masih menanti kesediaan pemerintah untuk mengeluarkan IUPK sementara agar bisa mendapatkan kesempatan ekspor. Menurut dia, aktivitas produksinya tersendat akibat belum bisa ekspor setelah dihentikan pemerintah sejak 12 Januari 2017.
“Kami masih menunggu IUPK sementara sehingga bisa ekspor, namun izin dari pemerintah belum keluar,” kata Riza.
Beda Kontrak Karya dan IUPK
Sejatinya UU No. 4 tahun 2009 tentang Minerba tidak lagi mengenal sistem kontrak karya, melainkan memberlakukan sistem perizinan. Pemerintah melalui Kementerian ESDM sudah sejak lama mendorong agar perusahaan pertambangan yang berstatus KK berubah menjadi IUPK. Sayangnya, proses perubahan status KK menjadi IUPK, seperti Freeport selalu mengalami kebuntuan.
Misalnya, pada Juni 2015, Freeport pernah menyetujui usulan pemerintah agar mengubah statusnya dari KK menjadi IUPK. Namun, perusahaan asal Amerika tersebut baru mengajukannya setelah pemerintah menjadikan perubahan status KK menjadi IUPK sebagai salah satu persyaratan ekspor konsentrat, seperti diatur dalam PP No. 1 tahun 2017, serta dua Permen yang menjadi turunan dari PP tersebut.
Lalu, apa perbedaan status KK dan IUPK?
Perubahan KK menjadi IUPK memberikan dampak tersendiri bagi negara. Dengan beralihnya KK menjadi IUPK, maka posisi pemerintah lebih "tinggi" karena berlaku sebagai pihak yang memberi izin kepada perusahaan tambang untuk melakukan aktivitas tambang. Dalam sistem KK posisi pemerintah setara dengan perusahaan, karena negara yang melakukan kontrak dengan perusahaan tersebut.
Namun, jika sistem perizinan seperti yang diamanatkan UU No. 4 tahun 2009 tentang Minerba yang dipraktikkan, maka posisi negara di atas perusahaan tambang tersebut. Misalnya, sebagai pemberi izin pertambangan, pemerintah bisa saja mencabut izinnya. Dengan demikian, perubahan KK menjadi IUPK adalah menempatkan negara pada posisi yang sebenarnya.
Perubahan KK menjadi IUPK juga membuat perusahaan tambang, seperti Freeport tidak akan lagi mendapatkan izin panjang hingga mencapai 50 tahun. Sebab, dalam sistem perizinan, pemerintah hanya bisa memberikan izin paling lama 20 tahun dan dapat diperpanjang dua kali masing-masing 10 tahun.
“Jangka waktu IUPK Operasi Produksi mineral logam atau batubara dapat diberikan paling lama 20 (dua puluh ) tahun dan dapat diperpanjang 2 (dua) kali masing-masing 10 (sepuluh) tahun,” demikian bunyi Pasal 83 poin g UU No. 4 tahun 2009 tentang Minerba.
Tak hanya itu, perubahan status KK Freeport menjadi IUPK juga akan mengurangi batas area pertambangannya. Seperti diatur dalam Pasal 83 poin b bahwa luas satu wilayah IUPK untuk tahap kegiatan operasi produksi pertambangan mineral logam dibatasi hanya 25.000 hektar, jauh dari luas area kerja Freeport yang mencapai 90.000 hektar.
Selain itu, perubahan status KK menjadi IUPK juga akan membuat Freeport akan dikenakan banyak pajak. Hal ini menjadi pertimbangan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati. Ia memastikan perubahan status Freeport dari KK menjadi IUPK harus tetap menjamin adanya penerimaan bagi negara yang lebih baik.
Menurut Sri Mulyani, dalam UU Minerba sudah diamanatkan bahwa bentuk apapun kerja sama antara pemerintah dengan para pengusaha, maka penerimaan pemerintah harus dijamin lebih baik. “Penerimaan itu banyak sekali dimensinya, ada pajak, ada royalti, ada PBB, ada juga iuran yg lain dan juga dari sisi kewajiban mereka harus melakukan divestasi serta kewajiban membangun smelter,” ujarnya.
Namun demikian, lanjut Sri Mulyani, pemerintah juga perlu memberikan kepastian berusaha serta jaminan tidak ada hambatan yang bisa mengganggu iklim investasi dan memberikan ketidakpastian bagi investor atas prospek ekonomi Indonesia. Dalam hal ini, kepastian terkait penerimaan negara dan kepastian bagi dunia usaha sama-sama terjamin. [src/trc/tirto.id]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar