Selasa, 31 Oktober 2017

Sejarah serangan jepang ke pearl harbor


Seperti yang kita semua ketahui, penyerangan ini dilakukan oleh Jepang karena mereka "tidak terima" dengan adanya embargo minyak dan perdagangan oleh Amerika Serikat. Serangan inilah yang membuat Perang Dunia Kedua menjadi "lebih terbuka" dan membuat Amerika terjun langsung ke Perang Dunia Kedua.

Sebelum masuk, kita liat dulu tujuan penyerangan ini. Tujuan serangan Pearl Harbor adalah untuk melumpuhkan Angkatan Laut Amerika Serikat di Pasifik, walaupun hanya untuk sementara. Laksamana Isoroku Yamamoto sendiri menyatakan bahwa serangan yang berhasil sekalipun hanya memberikan setahun sampai dua tahun kebebasan bertindak. Jepang telah terlibat dalam perperangan dengan Cina selama beberapa tahun (bermula pada tahun 1937) dan telah merampas Manchuria beberapa tahun sebelumnya.

Pada tanggal 26 November 1941, sebuah armada Jepang yang terdiri dari enam kapal induk, dua kapal tempur, dua penjelajah berat, satu penjelajah ringan, sembilan perusak, dan delapan tanker bergerak meninggalkan Teluk Hitokappu di Kepulauan Kuril. Armada yang dipimpin oleh Vice Admiral Chūichi Nagumo tersebut berlayar menuju Pearl Harbor tanpa melakukan hubungan radio apapun (radio silence).

Minggu pagi, 7 Desember 1941, serangan dimulai sekitar pukul 07:38 pagi waktu Hawaii. Pangkalan AL Amerika Serikat di Pearl Harbor diserang oleh 353 pesawat tempur, pesawat pembom, dan pesawat torpedo dari AL Jepang dalam 2 gelombang serangan, yang diberangkatkan dari 6 kapal induk, yaitu :

1. Divisi Induk 1 (Kaga dan Akagi)
2. Divisi Induk 2 (Hiryu dan Soryu)
3. Divisi Induk 5 (Shokaku dan Zuikaku)

Hampir semua pesawat terbang Amerika dimusnahkan di atas tanah, hanya beberapa yang berhasil lolos dan bertempur. 12 kapal perang dan kapal lain ditenggelamkan atau rusak, 188 pesawat tempur dimusnahkan, dan 2.403 orang Amerika kehilangan nyawa mereka. Kapal perang USS Arizona meledak dan tenggelam menyebabkan 1.100 orang kehilangan jiwa, hampir separuh dari jumlah korban Amerika yang mati. Bangkai USS Arizona diabadikan menjadi tugu peringatan kepada mereka yang tewas pada hari itu, kebanyakan dari mereka terkubur di dalam kapal tersebut, dengan kata lain, mereka gak bisa keluar dari kapal karena kapalnya tenggelam dalam posisi terbalik [Butuh rujukan]

Lalu, sebenarnya apa tujuan Jepang menyerang Pearl Harbor? Untuk melakukan 'tindakan preventif' agar Angkatan Laut Amerika Serikat tidak "mengganggu" operasi-operasi yang direncanakan Jepang di Asia Tenggara.

Dari serangan yang dilakukan ini, tercatat 8 kapal tempur rusak dan 4 diantaranya tenggelam. Seluruh kapal yang rusak (dan tenggelam) ini kemudian diangkat dan diperbaiki dan kembali ke pelayaran dan "dorama" Perang Pasifik, kecuali USS Arizona. Jepang juga menenggelamkan dan merusak 3 kapal penjelajah, 3 kapal perusak, 1 kapal latih anti pesawat, dan 1 kapal penyebar ranjau. Serangan ini juga mengakibatkan 188 pesawat terbang Amerika Serikat rusak dan hancur, serta mengakibatkan korban jiwa sebanyak 2.403 korban meninggal dan 1.178 korban luka. Namun, dari begitu banyaknya kerusakan yang ditimbulkan, sejumlah fasilitas penting yang ada di Pearl Harbor (seperti pembangkit listrik, tempat penyimpanan minyak, galangan, ruangan penyimpanan torpedo, dan kantor markas) tidak di hancurkan. Entah apakah karena Chūichi Nagumo terlalu puas dengan serangannya atau apa, yang pasti kebanyakan instalasi yang ada disana gak rusak.

Di sisi lain, Jepang "hanya" kehilangan 29 pesawat, 5 kapal Midget Submarine, dan 65 personel. Selain itu tercatat 1 pelaut AL Jepang, yaitu Kazuo Sakamaki, tertangkap oleh pihak AS setelah Midget Submarine-nya menabrak terumbu karang dan tak bisa lagi digunakan (dan dia pun terdampar, dan kemudian ditangkap dan dijadikan tawanan perang pertama pada saat Perang Pasifik)

Setelah peristiwa ini, Jepang baru menyatakan perang kepada Amerika Serikat dan memulai kampanye militernya di Asia-Pasifik Raya. Serangan ini mengawali keterlibatan Amerika Serikat dalam Perang Pasifik.

Bagaimanapun, dalam jangka masa panjang, Pearl Harbor merupakan malapetaka strategis bagi Jepang. Malah Laksamana Isoroku Yamamoto (panutanque), yang mencetuskan ide untuk menyerang Pearl Harbor, telah meramalkan bahwa sungguhpun dengan kejayaan menyerang Angkatan Laut Amerika Serikat, Jepang tidak akan mampu memenangkan peperangan dengan Amerika Serikat, sebab kemampuan pengeluaran Amerika terlalu besar. Salah satu tujuan Jepang adalah untuk memusnahkan tiga kapal induk Amerika Serikat yang diletakkan di Pasifik, tetapi sedang tiada ketika serangan terjadi — Enterprise dalam perjalanan pulang, Lexington telah berlayar keluar beberapa hari sebelumnya, dan Saratoga berada di San Diego selepas pengubah-suaian di Galangan Angkatan Laut Puget Sound. Sialnya, ketiga "Main Objective" ini malah berpartisipasi dalam banyak pertempuran di Pasifik. Suatu ketidak-beruntungan karena tidak menenggelamkan kapal-kapal ini (Enterprise, Lexington, Saratoga) tetapi sungguhpun sekiranya kapal induk Angkatan Laut Amerika Serikat telah ditenggelamkan, hal itu tidak akan membantu Jepang dalam jangka panjang.

Serangan ini membuat Amerika Serikat terlibat penuh dalam Perang Dunia II, mendorong pada kekalahan blok Poros sedunia. Saat mendengar bahwa serangan atas Pearl Harbor akhirnya telah melibatkan Amerika Serikat ke dalam peperangan, Perdana Menteri Britania Raya, Winston Churchill, menulis "Dengan emosi dan penuh perasaan yang puas, saya baring ke pembaringan dan tidur dengan tidur orang yang diselamatkan dan bersyukur". (Sir Winston Churchill – The Second World War, jilid 3, halaman 539)".

Sumber :
- http://www.history.com/topics/world-war-ii/pearl-harbor
- https://www.britannica.com/event/Pearl-Harbor-attack
- https://en.wikipedia.org/wiki/Attack_on_Pearl_Harbor
- http://www.history.com/this-day-in-history/pearl-harbor-bombed

Kamis, 19 Oktober 2017

Inilah Pekerjaan Yang akan Hilang Akibat "Disruption"

Rhenald Kasali

 

Mungkin Anda sempat menerima video tentang Google Pixel Buds. Wireless headphone seharga 159 dollar AS yang akan beredar bulan depan ini, dipercaya berpotensi menghapuskan pekerjaan para penerjemah.

Headphone ini mempunyai akses pada Google Assistant yang bisa memberikan terjemahan real time hingga 40 bahasa atas ucapan orang asing yang berada di depan Anda.

Teknologi seperti ini mengingatkan saya pada laporan PBB yang dikeluarkan oleh salah satu komisi yang dibentuk PBB – On Financing Global Opportunity – The Learning Generation (Oktober 2016).

Dikatakan, dengan pencepatan teknologi seperti saat ini, hingga tahun 2030, sekitar 2 miliar pegawai di seluruh dunia akan kehilangan pekerjaan. Tak mengherankan bila mulai banyak anak-anak yang bertanya polos pada orang tua, “mama, bila aku besar, nanti aku bekerja di mana?”

Otot Diganti Robot

Perlahan-lahan teknologi menggantikan tenaga manusia. Tak apa kalau itu membuat kita menjadi lebih manusiawi. Semisal kuli angkut pelabuhan yang kini diganti crane dan forklift.

Tak hanya di pelabuhan, di supermarket pun anak-anak muda beralih dari tukang panggul menjadi penjaga di control room. Itu sebabnya negara perlu melatih ulang SDMnya secara besar-besaran dan menyediakan pekerjaan alternatif seperti pertanian atau jasa-jasa lain yang masih sangat dibutuhkan.

Tetapi teknologi tak hanya mengganti otot. Manusia juga menggunakan teknologi untuk menggantikan pekerjaan-pekerjaan yang berbahaya.

Di sini kita sudah melihat robot dipakai untuk memasuki rumah yang dikuasai teroris dan memadamkan api.

Sekarang kita mendengar tenaga-tenaga kerja yang bertugas di pintu tol akan diganti dengan mesin. Pekerjaan di pintu-pintu tol semakin hari memang semakin berbahaya, baik bagi kesehatan (asap karbon kendaraan), keamanan maupun kenyamanan (tak dilengkapi toilet).

Sehingga, memindahkan mereka ke control room atau pekerjaan lain tentu lebih manusiawi.

Tetapi, teknologi juga menggantikan jarak sehingga pusat-pusat belanja yang ramai dan macet tiba-tiba sepi karena konsumen memilih belanja dari genggaman tangannya dan barangnya datang sendiri.

Maka sejak itu kita menyaksikan pekerjaan-pekerjaan yang eksis 20 tahun lalu pun perlahan-lahan akan pudar. Setelah petugas pengantar pos, diramalkan penerjemah dan pustakawan akan menyusul.

Bahkan diramalkan profesi dosen pun akan hilang karena kampus akan berubah menjadi semacam EO yang mengorganisir kuliah dari ilmuwan-ilmuwan kelas dunia. Kasir di supermarket, sopir taksi, loper koran, agen-agen asuransi, dan sejumlah besar akuntan juga diramalkan akan berkurang.

Kita tentu perlu memikir ulang pekerjaan-pekerjaan yang kita tekuni hari ini.

Pekerjaan-pekerjaan Baru

Sebulan yang lalu, di Cambridge – UK, saya menerima kunjungan dari mentee-mentee saya yang sedang melanjutkan study S2. Salah satunya, Icha yang sedang duduk di program S2 bidang perfilman.

Saya pun menggali apa saja yang ia pelajari dan  rencana-rencana ke depan yang bisa dijembatani yayasan yang saya pimpin.

Icha bercerita tentang ilmu yang didapatnya.

“Kami disiapkan untuk hidup mandiri,” ujarnya.

“Masa depan industri perfilman bukan lagi seperti yang kita kenal. Semua orang kini bisa membuat film tanpa produser dan middlemanseperti yang kita kenal. Kami diajarkan menjadi produser indies, tanpa aktor terkenal dengan kamera sederhana, dan pasarkan sendiri via Netflix.

Ucapan Icha sejalan dengan Adam, putera saya yang sedang mengambil studi fotografi di School of Visual Arts, New York. Ia tentu tidak sedang mempersiapkan diri menjadi juru potret seperti yang kita kenal selama ini, melainkan mempersiapkan keahlian baru di era digital yang serba kamera.

Adam bercerita tentang arahan dosennya yang mirip dengan Icha di UK. “Sepuluh tahun pertama, jangan berpikir mendapatkan gaji seperti para pegawai. Hidup mandiri, membangun keahlian dan persiapkan diri untuk 20 tahun ke depan. Tak mau susah, tak ada masa depan,” ucapnya menirukan advis para dosen yang rata-rata karyanya banyak bisa kita lihat di berbagai galeri internasional.

Adam dilatih hidup mandiri, berjuang sedari dini dari satu galeri ke galeri besar lainnya. Dari satu karya ke karya besar lainnya.

Memang, pekerjaan-pekerjaan lama akan banyak memudar walau tidak hilang sama sekali. Seperti yang saya ceritakan dalam buku baru saya, Disruption, pada pergantian abad 19 ke abad 20, saat mobil menggantikan kereta-kereta kuda. Ribuan peternak dan pekerja yang menunggu pesanan di bengkel-bengkel kereta kuda pun menganggur. Namun pekerjaan-pekerjaan baru seperti montir, pegawai konstruksi jalanan, pengatur lalu lintas, petugas asuransi, dan sebagainya pun tumbuh.

Kereta-kereta kuda tentu masih bisa kita lihat hingga hari ini, mulai dari jalan Malioboro di Yogyakarta sampai di kota New York, Paris, atau London melayani turis. Tetap ada, namun tak sebanyak pada eranya.

Namun pada saat ini kitapun menyaksikan munculnya pekerjaan-pekerjaan baru yang tak pernah kita kenal 10-20 tahun lalu: Barista, blogger, web developer, apps creator/developer, smart chief listener, smart ketle manager, big data analyst, cyber troops, cyber psichologyst, cyber patrol, forensic cyber crime specialist, smart animator, game developer, smart control room operator, medical sonographer, prosthodontist, crowd funding specialist, social entrepreneur, fashionista and ambassador, BUMN v Developer, Cloud computing services, cloud service specialist, Dog Whisperer, Drone operator dan sebagainya.

Kita membaca postingan dari para bankir yang mulai beredar, sehubungan dengan tawaran-tawaran untuk pensiun dini bagi sebagian besar karyawannya mulai dari teller, sampai officer kredit.

Kelak, bila Blockchain Revolusion seperti yang ditulis ayah-anak Don-Alex Tapscott menjadi kenyataan, maka bukan hanya mesin ATM yang menjadi besi tua, melainkan juga mesin-mesin EDC. Ini tentu akan merambah panjang daftar pekerjaan-pekerjaan lama yang akan hilang.

Jangan Tangisi Masa Lalu

Di beberapa situs kita pasti membaca kelompok yang menangisi hilangnya ribuan atau bahkan jutaan pekerjaan-pekerjaan lama. Ada juga yang menyalahkan pemimpinnya sebagai masalah ekonomi.  Tentu juga muncul kelompok-kelompok penekan yang seakan-akan sanggup menjadi “juru selamat” PHK.

Namun perlu disadari gerakan-gerakan itu akan berujung pada kesia-siaan. Kita misalnya menyaksikan sikap yang dibentuk oleh tekanan-tekanan publik seperti itu dari para gubernur yang sangat anti bisnis-bisnis online.

Mungkin mereka lupa, dunia online telah menjadi penyedia kesempatan kerja baru yang begitu luas. Larangan ojek online misalnya, bisa mematikan industri kuliner dan olahan rumah tangga yang menggunakan armada go-food dan go-send.

Berapa banyak tukang martabak yang kini tumbuh seperti jamur di musim hujan, rumah makan ayam penyet dan pembuat sabun herbal yang juga diantar melalui gojek.

Sama halnya dengan menghambat pembayaran noncash di pintu-pintu tol, kita mungkin kehilangan kesempatan untuk memberikan pelayanan-pelayanan baru yang lebih manusiawi dan lebih aman.

Satu hal yang pasti, kita harus mulai melatih anak-anak kita menjadi pekerja mandiri menjelajahi profesi-profesi baru. Ketika mesin dibuat menjadi lebih pandai dari manusia, maka pintar saja tidak cukup.

Anak- anak kita perlu dilatih hidup mandiri dengan mental self-driving, self-power, kreatifitas dan inovasi, serta perilaku baik dalam melayani dan menjaga tutur katanya di dunia maya (yang sekalipun memberi ruang kebebasan dan kepalsuan).

Selasa, 10 Oktober 2017

The John Lawson House

Rumah berjuluk "The John Lawson House" terletak di Main Street History District, kawasan stasiun kereta New Hamburg, New York, Amerika Serikat. Rumah bergaya kuno ini didirikan pada tahun 1845. Tak lama setelah pembangunannya, terjadi kebakaran hebat di distrik tersebut yang menyebabkan hampir seluruh area tersebut menjadi abu. Rumah ini adalah salah satu yang bertahan membuatnya menjadi rumah bersejarah di kawasan tersebut.

Yang membuat John Lawson House menarik bukan hanya karena bangunannya yang tergolong bersejarah, namun karena manekin-manekin yang berada di rumah tersebut. Rumah ini memang tergolong aneh karena tidak ada seorang pun yang menghuninya selain manekin-manekin misterius.

Manekin-manekin tersebut memiliki kebiasaan ganjil karena terlihat berganti pakaian setiap hari. Manekin-manekin tersebut berkulit pucat dan mengenakan pakaian bergaya kuno. Menurut masyarakat setempat manekin-manekin tersebut telah berada di sana sejak seabad yang lalu dan tidak diketahui siapa yang memeliharanya.

Selain itu juga, manekin-manekin tersebut memiliki kebiasaan berganti posisi setiap harinya. Terkadang ditemukan duduk, berdiri, memegang kandang burung, memegang buku atau handuk atau menaruh benda-benda tersebut di pangkuan mereka. Para manekin itu biasa terlihat di teras depan rumah. Sementara itu, bila hujan turun anehnya tidak ada satu pun manekin yang terlihat berada di teras seperti biasanya.

Masyarakat setempat meyakini keberadaan manekin-manekin tersebut terkait dengan peristiwa kecelakaan kereta api pada tahun 1871 yang terjadi tak jauh dari John Lawson House. Pada musim dingin tahun 1871, dikisahkan terjadi kecelakaan kereta api yang menewaskan 22 orang penumpangnya. Hal ini pulalah yang diyakini mengapa kadang kala boneka-boneka tersebut terlihat menunjuk ke arah lokasi kecelakaan lebih dari seabad silam tersebut.

John Lawson House selalu tertutup. Sementara itu, jendela-jendela rumah semuanya tertutup oleh kain sehingga masyarakat setempat tidak dapat melihat ke dalam rumah. Pernah suatu ketika warga melihat setitik cahaya dari bagian dapur. Namun tak lama setelah itu, cahaya tersebut menghilang. Sejak lebih dari seabad yang lalu tidak ada yang pernah tahu siapa yang berada di rumah tersebut. Dan John Lawson House masih menyimpan misteri yang tak terpecahkan.

#Kratos

Selasa, 03 Oktober 2017

Letnan Kolonel Untung.


( POLITIK )

Dulu waktu putra saya masih SLTP setelah usai nonton FIlm G30 S PKI bertanya kepada saya “ Katanya PKI yang culik kok PKI seperti tentara? Saya hanya tersenyum mendapat pertanyaan itu. Sebisanya saya jelaskan bahwa PKI itu adalah partai Politik dan tentu namanya partai , ia berusaha merebut pengaruh di kalangan mana saja termasuk di Militer. Lantas mengapa akhirnya militer mau terlibat dalam operasi penculikan terhadap perwira TNI ? Kalaulah itu karena provokasi PKI, tentu mereka tidak akan menjadikan Perwira menjadi target untuk dibunuh. Tapi lawan politik seperti Masyumi. Mengapa ? ya karena masyumi merupakan rival keras PKI dalam setiap perjuangan merebut pengaruh politik. Militer sebagai institusi sangat beresiko di redam dengan penculikan dan pembunuhan. Apalagi kekuatan militer itu tersebar di seluruh Indonesia yang tidak mungkin bisa seketika di buat tunduk hanya karena pembunuhan para pemegang komando tertinggi.
Namun mungkin karena berita hoax yang sedemikian hebat di create oleh seseorang sehingga Soeharto sebagai pangkostrad segera menyimpulkan dalang penculikan Pati itu adalah PKI , yang kemudian kita kenal dengan peristiwa G30S. Dan sikap Soeharto ini langsung di manfaatkan oleh Masyumi yang walau sudah dibubarkan namun tokohnya tetap eksis dan gerakan dendam seperti api dalam sekam kapan saja bisa meledak, untuk mengganyang PKI yang merupakan musuh bebuyutan sejak negeri ini merdeka. Apalagi masyumi tahu pihak dibalik dekrit presiden Soekarno kembali ke UUD 45 dan pembubaran konstituante adalah PKI. Jadi hanya pemicu sedikit saja, sudah bisa menjadi ledakan besar. Soeharto yang juga aktifis dari Sekber Golkar memang punya agenda tersendiri bagaimana menggebuk kaum nasionalis kiri dan kanan agar dapat berkuasa dengan mudah. Caranya ya memanfaatkan situasi kacau dengan membenturkan kelompok kiri dan kanan. Dari benturan ini, maka PKI dijadikan pihak pecundang dalam kakacauan bau amis darah itu. Dan berikutnya setelah Soeharto berkuasa, kelompok kanan ( Islam ) juga digebuk. Setelah lemah maka dipreteli unsur kekuatanya dengan menyederhakan partai. Dan kemudian menetapkan azas tunggal Pancasila sesuai versinya.***
Sekarang kembali ke cerita awal, mengapa Tjkarabirawa yang merupakan bagian dari TNI mudah termakan issue bahwa ada dewan jenderal yang akan melakukan kudeta terhadap Soekarno dan sehingga sebagai Pasukan pengawal Presiden mau saja melakukan operasi pembunuhan anggota dewan jenderal tersebut ? Tentu Letnan Kolonel Untung sebagai komandan Tjakrabirawa bukan Perwira tolol yang gampang saja termakan issue. Untung mendapatkan penghargaan Bintang Sakti dari Presiden Soekarno. Dalam sejarah Indonesia, hanya beberapa perwira yang mendapatkan penghargaan ini dan Itu karena kemampunya menunjukan kelasnya sebagai perwira lapangan terbaik dalam setiap operasi militer. Seperti operasi mandala dibawah pimpinan Soeharto untuk merebut Irian Barat dan dibawah pimpinan Jenderal Ahmad Yani, dalam operasi penumpasan pemberontakan PRRI atau Permesta di Bukit Gombak, Batusangkar, Sumatera Barat, pada 1958. Karena kehebatanya itulah Untung dijadikan komandan Tjakrabirawa.
Di samping itu, LetKol Untung bukan hanya perwira yang buta tuli politik. Dia pernah di Batalion Sudigdo, yang markasnya berada di Wonogiri. Batalion ini yang berhasil di bina oleh PKI , dan akhirnya melakukan pemberontakan tahun 1948. Nah dengan catatan record nya seperti itu, pasti ada orang yang sangat dipercaya secara pribadi dan moral yang mampu meyakinkannya bahwa dewan jenderal itu memang ada dan targetnya menghabisi Soekarno. Dan kalau terjadi hal yang tidak di inginkan maka ia akan di lindungi. Dan itu kemungkinanya adalah Soeharto. Mengapa ?
Hubungan antara Soeharto dan Let kolonel Untung terjalin setelah Untung melarikan diri dari kejaran Pasukan Gatot Subroto karena terlibat pemberontakan PKI di Madiun dan kembali ke Solo. Tentu Soeharto tahu pasti bahwa Untung adalah buronan Gatot Subroto. Namun Untung bisa bergabung di Korem Surakarta dimana Soeharto sebagai Komandannya. Dan saat itulah nama aslinya yang tadinya Kusman berganti Untung. Belakangan ketika Soeharto menggantikan Gatot Subroto sebagai panglima Divisi Diponegoro , Untung juga dibawa Soeharto ke Semarang bergabung dalam Batalion 454 Kodam Diponegoro, yang lebih dikenal dengan Banteng Raiders. Ketika Soeharto menjabat Panglima Kostrad mengepalai operasi pembebasan Irian Barat, 14 Agustus 1962, Soeharto juga melibatkan Untung dalam Operasi Mandala itu.
Ketika Soekarno membutuhkan Pasukan pengawal presiden yang diberi nama Tjakrabirawa , Soeharto pula yang mengusulkan kepada Jenderal Ahmad Yani untuk menjadikan anggota Batalion Banteng Raiders sebagai pasukan Tjakrabirawa dimana Let Kolonel Untung sebagai komandannya. Dan Ketika Untung menikah, Soeharto bersama ibu Tien hadir. Siapa yang paling masuk akal meyakinkan Untung untuk melakukan operasi penculikan dewan jenderal itu ? silahkan jawab sendiri. Artinya memang benar bahwa Untung terlibat pasti G30S dan PKI memang terlibat memprovokasi secara tidak langsung dengan issue dewan jendral yang akan kudeta. Tapi apakah benar perintah pembunuhan itu ada ? Siapa the man behind the gun ? inilah awan gelap. Mengapa ? Lettu Doel Arif Sebagai komandan Pasukan Pasopati yang menjadi operator lapangan penculikan itu sampai kini tidak tahu rimbanya dan tidak pernah bersaksi di pengadilan.
Yang jelas bila ada kelompok Islam yang sampai kini masih membenci PKI itu karena dendam masalalu. Ya karena ulah PKI lah dewan konstituante yang akan menjadikan pancasila bersyariah gagal, dengan keluarnya dekrit Presiden kembali ke UUD 45 dan Pancasila. Biarlah nanti waku yang akan mengungkapkan sejarah itu...Tugas kita belajar dari pengalaman masalalu bahwa apapun aksi bau amis darah demi kekuasaan harus dihentikan. Kalau inginkan kekuasaan maka tempulah jalur konstitusi lewat demokrasi. Ujilah aksetablitas dihadapan rakyat dan bila menang gunakanlah amanah itu dengan baik , dan bila kalah bersabarlah. Karena kekuasaan itu milik Tuhan dan Tuhan akan memberikan kekuasaan itu kepada yang Dia suka. Apapun itu pemimpin terpilih adalaj takdir kita bersama sama untuk menerima kenyataan dengan lapang hati dan utamakan damai walau itu pahit.

Sumber : Diskusi Dengan Babo

Sabtu, 30 September 2017

KENAPA SOEHARTO TIDAK MENCEGAH G30S ? PADAHAL DIA PANGKOSTRAD..!!


.
PERAN Soeharto dalam Gerakan 30 September (G30S) 1965 ternyata cukup besar. Hal ini terungkap dari sejumlah kesaksian para pelaku dan mereka yang tersangkut dalam peristiwa tersebut.

Menurut kesaksian Wakil Komandan Bataliyon 530/Para/Brawijaya Mayor TNI (Purn) Soekarbi pada 21 September 1965, dirinya menerima radiogram dari Panglima Kostrad (Pangkostrad) Mayjen Soeharto.

Radiogram itu bernomor 220 dan 239 tertanggal 21 September 1965. Isinya adalah perintah agar Yon 530/Para Brigade 3/Brawijaya menyambut HUT ke-20 ABRI pada 5 Oktober 1965 di Jakarta dengan perlengkapan tempur garis pertama.
Setelah dilakukan persiapan sesuai perintah dalam radiogram, pasukan diberangkatkan dengan kendaraan organik dan kereta api dalam tiga gelombang, mulai tanggal 25, 26, dan 27 September 1965.

Soekarbi saat itu memimpin keberangkatan pasukan gelombang ketiga dari Madiun dengan kereta api. Panglima Kodam Brawijaya saat itu adalah Mayjen Basoeki Rachmat.
Setibanya di Jakarta, seluruh pasukan berkumpul di Kebon Jeruk. Pasukan yang telah berkumpul saat itu adalah Yon 454/Para/Diponegoro dan Yon 328/Para/Siliwangi. Pada 29 September 1965, seluruh pasukan sudah berada di Mangkostrad.

Saat itu, pasukan tempur ini diinspeksi oleh Kepala Staf Kostrad Brigjen Kemal Idris, serta para asistennya seperti Kolonel Yoga Sugama, Asisten 2 Kolonel Wahono, dan Asisten 3 Kolonel Sruhardojo.

Pagi hari tanggal 30 September 1965, seluruh pasukan ditambah unsur Kostrad sudah berkumpul di luar Stadion Senayan untuk latihan upacara. Inspektur upacara saat itu adalah Pangkostrad Mayjen Soeharto.

Setelah melakukan latihan upacara, para pasukan dikembalikan ke Kebon Jeruk. Sore harinya, semua Dan Ton dikumpulkan di aula pertanian Kebon Jeruk dan dibriefing oleh Dan Yom 530 Mayor Bambang Soepeno.

Isi briefing itu adalah, Ibu Kota Jakarta dalam keadaan gawat, demikian juga keadaan Pangti ABRI. Kedua, ada kelompok Dewan Jenderal yang akan melakukan kudeta terhadap Pemerintahan RI yang sah.
Pukul 11 malam, satu kompi Yon 530 yang dipimpin Lettu Mohamad Saleh dan Resimen Cakrabirawa meninggalkan ruang briefing. Pukul 12 malam, briefing selesai. Pukul 2 pagi tanggal 1 Oktober 1965, Soekarbi memimpin pasukan menuju Kompleks Monas.

Di Kompleks Monas, kedudukan pasukan Soekarbi berada tepat di depan Istana Negara. Para pasukan inilah yang kemudian dikenal dengan pasukan liar atau tidak dikenaml saat terjadinya G30S.

Untuk itu Soekarbi membantah jika kemudian pasukannya dibilang liar. Sebab sedari awal mereka datang atas perintah Pangkostrad Mayjen Soeharto dan saat berada di Monas pasukannya sering keluar masuk Makostrad.
Pagi hari jam 8, Soekarbi bertemu Pangkostrad Mayjen Soeharto dan melaporkan semua kegiatannya, termasuk hasil briefing dengan Mayor Bambang Soepeno yang menyatakan negara dalam keadaan darurat dan akan terjadi kudeta.

Namun Soeharto menjawab kabar itu tidak benar dan situasi aman terkendali. Padahal, pukul 2 pagi tanggal 1 Oktober 1965, G30S sudah bergerak melakukan penculikan dan pembunuhan terhadap enam orang jenderal dan seorang perwira pertama.
Pertanyaannya kemudian adalah apakah Soeharto tidak mengetahui hal itu? Sehingga dia mengatakan kepada seluruh pimpinan pasukan yang ada di Jakarta keadaan aman terkendali tanpa melakukan upaya pencegahan? Hal ini diragukan Soekarbi.

Menurut Soekarbi, Soeharto mengetahui adanya gerakan itu. Tetapi tidak melakukan pencegahan. Begitupun dengan Kodam Jaya. Apalagi jauh hari sebelumnya, Soeharto telah diberitahu Kolonel Latief akan kudeta Dewan Jenderal dan operasi militer.
Saat berada di Rumah Tahanan Militer (RTM) Salemba, Soekarbi mengaku bertemu Kolonel Latief. Saat itu Latief bercerita tanggal 28 September 1965, dirinya menemui Soeharto untuk menceritakan situasi yang terjadi.

Namun Soeharto diam, tidak berkomentar. Baru kemudian hari, Soeharto menangkap Latief. Penulis Cornell Paper Profesor Ben Anderson mengatakan, ada sejumlah alasan kenapa Soeharto diam saat mendengar keterangan Latief.

Secara Machiavelis, Soeharto beranggapan ada baiknya jika Achmad Yani dan Nasution disingkirkan. Soeharto menyimpan dendam kepada Nasution karena pernah dicopot dari Pangdam Diponegoro dengan alasan melakukan penyelundupan.
Begitupun dengan Yani, Soeharto tidak suka Yani karena dia merasa lebih senior. Pertanyaannya kemudian adalah kenapa para pelaku penculikan dan pembunuhan para jenderal itu adalah orang-orang dekat Soeharto?

Hubungan Soeharto dengan Kolonel Latief sudah seperti saudara. Latief mengenal Soeharto dan istrinya Ibu Tien sejak tahun 1948 sewaktu gerilya di Yogyakarta. Begitupun dengan Letkol Untung, hubungan mereka sangat baik.
Saat Untung menikah, Soeharto lah yang membiayai seluruh biaya pernikahannya. Namun belakangan Soeharto lah yang menangkap dan membunuh Untung. Ben menduga, hal ini seperti permainan catur yang mengorbankan prajurit pada awal permainan.

Profesor Peter Dale Scott dalam analisanya beranjak lebih jauh. Dia menyatakan G30S atau Gerakan September Tiga Puluh (Gestapu)* merupakan pintu masuk bagi Soeharto untuk menghancurkan golongan kiri dan mendongkel Soekarno.
Menurutnya, dari awal Soeharto sudah mengetahui bahwa penculikan dan pembunuhan enam orang jenderal itu dilakukan oleh pasukan-pasukan yang berhubungan dengan Untung, karena pasukan itu berada di bawah kepemimpinannya.
Jadi, apapun alasan dan motivasi oknum-oknum perorangan dalam peristiwa itu menurutnya munafik, dan janggal karena sudah dirancang oleh Soeharto. Seperti keputusan tidak menjaga sisi Timur tempat markas Kostrad misalnya.
Menurutnya, hal ini konsisten dengan putusan G30S bahwa hanya para jenderal Mabes AD yang akan dijadikan sasaran. Hal ini dimaksudkan agar tidak ada yang menghalangi pengambil alihan kekuasaan oleh Soeharto.

Kejanggalan lain adalah pengumuman Dewan Revolusi yang tidak mengikutsertakan Soekarno. Menurutnya hal ini merupakan dalih Soeharto untuk berpura-pura melindungi Soekarno yang pada hakikatnya mencegah Soekarno kembali memimpin.

Begitupun dengan dipilihnya sarang G30S yang di Halim Perdana Kusuma. Hal itu untuk menutupi kecurigaan pembunuhan yang dilakukan pasukan di bawah komandonya, dan melimpahkannya kepada AURI dan personel Partai Komunis Indonesia (PKI).

Pasukan yang sama juga berada di Jawa Tengah. Diketahui bahwa batalion yang memberi pembekalan kepada kompi-kompi pemberontak dan yang menumpasnya adalah sama. Batalion itu berada di bawah kuasa Pangkostrad.

Siauw Giok Tjhan dalam catatan penjara Orde Baru menceritakan, beberapa jam sebelum G30S terjadi Kolonel Latief kembali menemui Soeharto dan melaporkan akan dilakukan penculikan para anggota Dewan Jenderal malam itu.
Namun hingga G30S dilancarkan, Soeharto tetap diam dan tidak mengambil tindakan pencegahan. Padahal, harusnya dia melaporkan apa yang diketahuinya itu kepada atasannya Jenderal Ahmad Yani dan Jenderal Nasution.

Pertemuan Latief dan Soeharto malam itu disaksikan oleh Mayor Suradi. Menurut Suradi, dia menemani Latief menemui Soeharto di RSPAD. Dia mendengar Latief melaporkan bahwa nanti malam akan ada gerakan menculik para jenderal.

Banyak para perwira menengah dan tinggi ABRI diadili dan ditahan dengan tuduhan terlibat dalam G30S hanya karena mereka dinyatakan mengetahui tentang keberadaan Dewan Jenderal, tetapi tidak memberitahukan atasannya.

Salah satu contohnya adalah Komodor Suradi, Panglima Maritim Kepulauan Riau. Dia dijatuhi penjara 18 tahun karena tidak melaporkan keberadaan Dewan Jenderal yang diketahui dari seorang bawahannya ke atasannya.

Contoh lainnya adalah Brigadir Jenderal Polisi Suwarno. Dia dijatuhi hukuman karena tidak melaporkan atasannya karena keberadaan Dewan Jenderal dan tidak berupaya mengambil tindakan terhadap Dewan Jenderal.
Pertanyaannya kemudian adalah, kenapa tidak ada konsekuensi hukum atas diamnya Mayjen Soeharto? Sampai di sini bahasan Cerita Pagi diakhiri. Semoga memberikan manfaat dan menambah khazanah pengetahuan pembaca.

*Prof Benedict Anderson mempunyai kesan bahwa singkatan Gestapu itu sendiri merupakan satu alasan lain dengan menganggap bahwa Gestapu adalah buatan Amerika Serikat. Kata Gerakan September Tiga Puluh sendiri terdengar janggal dalam bahasa Indonesia. Hal ini sama dengan mengatakan Teenth Four (Mei Sepuluh Empat) sebagai ganti May Four Teenth (Empat Belas Mei).
.
.
Sumber Tulisan:
Siauw Giok Tjhan, G30S dan Kejahatan Negara, Ultimus, Cetakan Pertama, Oktober 2015
Pater Dale Scott, Amerika Serikat dan Penggulingan Soekarno 1965-1967, Vision 03, Cetakan Kedua September 2003.
Eros Djarot, Siapa Sebenarnya Soeharto, Fakta dan Kesaksian Para Kesaksian Para Pelaku Sejarah G30S/PKI, MediaKita, Cetakan ke-13, 2008.

Jumat, 29 September 2017

Cerita Ketut Polos Dikejar Awan Panas Saat Erupsi Gunung Agung 1963.

"Saya masih berusia 11 tahun waktu Agung meletus tahun 1963. Waktu itu siang hari dan saya lagi bermain di sawah menemani Bapak yang bertani," kata Ketut.

Suara menggelegar dari Gunung Agung membuat ayah dari Ketut berlari dan menarik lengannya. Ketut diajak berlari ke arah rumah lebih dahulu untuk mengajak anggota keluarga yang lain.

"Lari! Lari! Nggak lama belum sampai rumah itu abu pekat sangat tebal turun. Saya kesulitan bernafas dan mata saya pedih sekali sampai hampir tak bisa melihat. Waktu itu rumah orangtua 3 Km dari kawah, rumah yang sama dengan yang saya tempati sekarang. Tapi saya tinggal karena harus mengungsi," ujar kakek berusia 65 tahun itu.

Tak butuh waktu lama untuk hujan abu vulkanik menumpuk di tanah hingga setinggi kurang lebih 30 Cm.

"Pas lari ke arah Bangli itu, saya lihat awan hitam besar sekali. Begitu cepat sampai saya lihat orang-orang ada yang tertelan awan hitam itu. Saya masih ingat teriakan mereka yang tertelan awan itu, sangat mengerikan," ucap Ketut.

Horor yang dirasakan Ketut tidak berhenti dari situ, ketika mereka berhasil selamat dari awan vulkanik, mereka dihadapkan dengan aliran lahar panas.

"Lari ke arah Bangli itu lewat bukit dan hutan sama sungai. Waktu mau menyeberang sungai, itu sudah penuh sama lahar, dalam sekali. Akhirnya sama Bapak dibuatkan alas kaki dari kayu, kita langsung menyeberang, sangat panas, saya pikir saya akan mati di situ tapi saya selamat," ungkap Ketut.

Menurut Ketut, siang hari berubah menjadi malam dalam waktu hanya beberapa menit ketika #GunungAgung meletus pada tahun 1963. Matahari tidak terlihat selama 6 bulan lamanya dan Ketut mengungsi di sebuah desa kecil di #Bangli selama satu tahun.

"Satu tahun itu tidak berhenti-berhenti. Abu, nggak ada matahari, gagal panen, kelaparan, tidak ada air bersih. Sangat mengkhawatirkan dan menakutkan," pungkas Ketut.

Ketut menyatakan banyak korban berjatuhan karena tidak ada warga yang mengungsi seperti sekarang. Pemerintahan saat itu juga tidak sereaktif seperti sekarang.

"Karena waktu itu tidak ada yang datang bilang gunung mau meletus. Yang ada tokoh-tokoh adat menjelaskan kenapa banyak sekali gempa di gunung, lalu warga hanya sembahyang saja minta keselamatan tapi tidak mengungsi," papar Ketut.

"Kalau sekarang saya merasa lebih aman. Pemerintah sama Desa Adat sudah jauh-jauh hari kasih tahu. Keluarga saya pasti selamat dan nggak harus alami yang sama dengan saya waktu 1963," pungkasnya.

#karangasem #erupsi #gempa

#sejarah #bali #sejarahbali

www.sejarahbali.com | follow ig @sejarahbali | line: sejarahbali

Sumber: detik.com

Kamis, 28 September 2017

A Gleam of Light in Indonesia?


Mungkin ini adalah keusilan terakhir ngegodain hantu beliau, moga-moga arwahnya tenang. Dan kita semua insaf selepas bulan ini. Masalah masih ada yg histeris dan ngefans atas sepak-depak-toyor-popor-terjang-tendang-kemplang beliau sebenernya sih sah-sah saja, negara kita adalah negara demokratis, ya toh?

Seminggu inipun banyak kawan-kawan lama yg secara terang-terangan atawa malu-malu masih ngarep bengsin jadi gopek. Menurut mereka, jaman tentara, bossnya bisa ngatur perekonomian sebegitu heimat dan heibat di jaman Rust en Orde, ya gapapa, mungkin emang sekarang ngerasa jamannye susah, anak banyak, kerjaan ngadat, cicilan motor makin keparat (padahal jaman dulu boro-boro  boleh mindring). Dan dari serangkaian debat di samping pak kusir yg sedang bekerja supaya baik jalannya itu, ada yg mentah-mentah nolak buku-buku macem Budhe McVey atawa Pakdhe Kahin, mereka bilang:

"GAK BISA! KAN SEJARAHNYA UDAH DITULIS NEGARA! BUKU-BUKU LUAR CUMA PROPAGANDA" [njir]

Ya uwiiis.. ssstt... Aja nesu masnya.. mbaknya..

Tepat seperti ungkapan seorang kawan, dalam sejarah, tak ada yg perlu diluruskan, sahaya mengamini, karena biarlah kebenaran itu akan menemukan jalannya sendiri, bukan berarti catatan itu buram, tapi semua tokoh punya andil pada masa itu. Entah jadi antagonis, protagonis, cameo, burung beo, mbalelo, semua tergantung berat kemana kita ngeliat. Masalahnya disini kita masih melihat sejarah itu seperti drama, kita ruwat manisnya namun kita helat pait-paitnya. Jadilah kita bingung sendiri, padahal kalo kita liat faktor yg paling penting adalah bagaimana kekuasaan itu dipakei buat depak-sepak-toyor-popor-kemplang-hilang pada masyarakat yg mengkritisi hal-hal yg tidak baik.

Dalam puak masyarakat yg tidak banyak membaca tentang sejarah penindasan, penghisapan dan pembodohan ada sebentuk kekaguman akan romantika dan euphoria genosida, mereka menghalalkan penghapusan manusia karena figur seorang jendral murah senyum kebapakan (that smile.. that goddamn smile!) yg menjadi pemenang dalam bab Bharatayudha. Seorang raja yg melanjutkan revolusi dengan moncong senapan. Hidup jadi sedemikian aman. Sehingga mereka terlena akan marabahaya yg tak nampak di pelupuk mata. Dan kita tau, inilah masanya.

Kelucuan-kelucuan itu salah satunya si sipil ngimpi maen abri-abrian, menjual deretan nama jendral-jendral untuk meluluskan kepentingan. Marak terjadi waktu itu --mungkin sampe sekarang-- sosok dalam angkatan menjadi begitu berperan untuk bisnis yg berkelangsungan, walhasil garda negara itu bukanlah mereka yg menjaga keselamatan bangsa tetapi digunakan pangkatnya seperti centeng jaman Belanda. Kita dididik menjadi masyarakat apolitis. Mencetak jago-jago nepotis.

Adakah secercah cahaya di Indonesia? Ketika kita begitu takut berpolitik? ketika begitu takut akan suatu kebenaran? Ketika kita begitu picik akan keadilan? Ketika kita nyaman akan pembodohan? Dan gemar maen abri-abrian?

Tidakkah takut pada anak-cucumu? Kau didik pada kesumat palsu dan melepasnya di masyarakat, mempertahankan kebohongan-kebohongan dan meludahi pelajaran. Kau apatis akan kecerdasan generasi dan terlalu asyik bersolek diri. Menjadi priyayi-priyayi. Mencibir yg korupsi. Geram pada kolusi. Tetapi lalai membentuk jati diri.

Dan enteng menuduh kawan-kawanmu yg mencari bukti adalah bagian dari PKI.

SINTING!

https://m.facebook.com/story.php?story_fbid=148295872439113&id=100017761029412

KEKUATAN NEO IMPERIALISME Yang Menumbangkan Soekarno

Soemitro Djojohadikusumo, The Hidden Story of Freeport.

“Salah satu hal yang paling prinsipil dari pergantian kepemimpinan di Indonesia, dari Soekarno ke Suharto adalah bergantinya karakter Indonesia dari sebuah bangsa yang berusaha menerapkan kemandirian berdasarkan kedaulatan dan kemerdekaan, menjadi sebuah bangsa yang bergantung pada kekuatan imperialisme dan kolonialisme Barat,” – Suar Suroso (Bung Karno, Korban Perang Dingin; 2008).

Sekilas Perjalanan Freeport di Indonesia

Spoiler for Freeport’s History
lensaindonesia..com:

Lisa Pease, seorang penulis asal Amerika Serikat, membuat artikel menarik berjudul “JFK, Indonesia, CIA & Freeport Sulphur”. Artikel heboh ini dimuat dalam Majalah Probe, edisi Maret-April 1996. Kemudian, artikel ini disimpan di dalam National Archive di Washington DC, Amerika Serikat.

Paling menarik, dalam artikelnya Lisa Pease menulis penjarahan Freeport atas gunung emas di Papua sudah dimulai sejak tahun 1967. Namun, kiprah Freeport sendiri di Indonesia sudah dimulai beberapa tahun sebelumnya.

Freeport Sulphur, demikian nama perusahaan itu awalnya, nyaris bangkrut berkeping-keping ketika terjadi pergantian kekuasaan di Kuba tahun 1959. Saat itu Fidel Castro berhasil menghancurkan rezim diktator Batista. Oleh Castro, seluruh perusahaan asing di negeri itu dinasionalisasikan. Freeport Sulphur yang baru saja hendak melakukan pengapalan nikel produksi perdananya terkena imbasnya. Ketegangan terjadi. Berkali-kali CEO Freeport Sulphur merencanakan upaya pembunuhan terhadap Castro, namun selalu pula menemui kegagalan.

Di tengah situasi yang penuh ketidakpastian, pada Agustus 1959, Forbes Wilson yang menjabat sebagai Direktur Freeport Sulphur melakukan pertemuan dengan Direktur Pelaksana East Borneo Company, Jan van Gruisen.

Pada saat itu, Gruisen bercerita bahwa dirinya menemukan sebuah laporan penelitian atas Mountain Ersberg (Gunung Tembaga) di Irian Barat yang ditulis Jean Jaques Dozy di tahun 1936. Uniknya, laporan itu sebenarnya sudah dianggap tidak berguna dan tersimpan selama bertahun-tahun begitu saja di Perpusatakaan Belanda. Van Gruisen tertarik dengan laporan penelitian yang sudah berdebu itu dan membacanya.

Dengan berapi-api, Van Gruisen bercerita kepada pimpinan Freeport Sulphur itu jika selain memaparkan tentang keindahan alamnya, Jean Jaques Dozy juga menulis tentang kekayaan alamnya yang begitu melimpah. Tidak seperti wilayah lainnya di seluruh dunia. Kandungan biji tembaga yang ada di Gunung Ersberg itu terhampar di atas permukaan tanah, jadi tidak tersembunyi di dalam tanah.

Mendengar hal itu, Wilson sangat antusias dan segera melakukan perjalanan ke Irian Barat untuk mengecek kebenaran cerita itu. Di dalam benaknya, jika kisah laporan ini benar, maka perusahaannya akan bisa bangkit kembali dan selamat dari kebangkrutan yang sudah di depan mata.

Selama beberapa bulan, Forbes Wilson melakukan survei dengan seksama atas Gunung Ersberg dan juga wilayah sekitarnya. Penelitiannya ini ditulisnya dalam sebuah buku berjudul The Conquest of Cooper Mountain. Wilson menyebut gunung tersebut sebagai harta karun terbesar yang untuk memperolehnya tidak perlu menyelam lagi. Karena semua harta karun itu telah terhampar di permukaan tanah.

Dari udara, tanah di sekujur gunung tersebut berkilauan ditimpa sinar matahari. Wilson juga mendapatkan temuan yang nyaris membuatnya gila. Karena selain dipenuhi bijih tembaga, gunung tersebut ternyata juga dipenuhi bijih emas dan perak! luar biasa.

Menurut Wilson, seharusnya gunung tersebut diberi nama Gold Mountain, bukan Ersberg Mountain atau Gunung Tembaga. Sebagai seorang pakar pertambangan, Wilson memperkirakan jika Freeport akan untung besar dan dalam waktu tiga tahun sudah kembali modal.

Pimpinan Freeport Sulphur ini pun bergerak dengan cepat. Pada 1 Februari 1960, Freeport Sulphur menekan kerjasama dengan East Borneo Company untuk mengeksplorasi gunung tersebut.

Namun lagi-lagi Freeport Sulphur mengalami kenyataan yang hampir sama dengan yang pernah dialaminya di Kuba. Perubahan eskalasi politik atas tanah Irian Barat tengah mengancam. Hubungan Indonesia dan Belanda telah memanas dan Soekarno malah mulai menerjunkan pasukannya di Irian Barat.

Tadinya Wilson ingin meminta bantuan kepada Presiden AS John Fitzgerald Kennedy agar mendinginkan Irian Barat. Namun ironisnya, JFK malah sepertinya mendukung Soekarno. Kennedy mengancam Belanda akan menghentikan bantuan Marshall Plan jika ngotot mempertahankan Irian Barat.

Belanda yang saat itu memerlukan bantuan dana segar untuk membangun kembali negerinya dari puing-puing kehancuran akibat Perang Dunia II terpaksa mengalah dan mundur dari Irian Barat.

Ketika itu, sepertinya Belanda tidak tahu jika Gunung Ersberg sesungguhnya mengandung banyak emas, bukan tembaga. Sebab jika saja Belanda mengetahui fakta sesungguhnya, maka nilai bantuan Marshall Plan yang diterimanya dari AS tidak ada apa-apanya dibanding nilai emas yang ada di gunung tersebut.

Dampak dari sikap Belanda untuk mundur dari Irian Barat menyebabkan perjanjian kerjasama dengan East Borneo Company mentah kembali. Para pimpinan Freeport jelas marah besar. Apalagi mendengar Kennedy akan menyiapkan paket bantuan ekonomi kepada Indonesia sebesar 11 juta AS dengan melibatkan IMF dan Bank Dunia. Semua ini jelas harus dihentikan.

Segalanya berubah seratus delapan puluh derajat ketika Presiden Kennedy tewas ditembak pada 22 November 1963. Banyak kalangan menyatakan penembakan Kenndey merupakan sebuah konspirasi besar menyangkut kepentingan kaum Globalis yang hendak mempertahankan hegemoninya atas kebijakan politik di Amerika.

Presiden Johnson yang menggantikan Kennedy mengambil siap yang bertolak-belakang dengan pendahulunya. Johnson malah mengurangi bantuan ekonomi kepada Indonesia, kecuali kepada militernya.

Salah seorang tokoh di belakang keberhasilan Johnson, termasuk dalam kampanye pemilihan presiden AS tahun 1964, adalah Augustus C Long. Ia juga salah seorang anggota dewan direksi Freeport. Tokoh yang satu ini memang punya kepentingan besar atas Indonesia.

Selain kaitannya dengan Freeport, Long juga memimpin Texaco, yang membawahi Caltex (patungan dengan Standard Oil of California). Soekarno pada tahun 1961 memutuskan kebijakan baru kontrak perminyakan yang mengharuskan 60 persen labanya diserahkan kepada pemerintah Indonesia.

Caltex, sebagai salah satu dari tiga operator perminyakan di Indonesia jelas sangat terpukul oleh kebijakan Soekarno ini.

Augustus C Long amat marah terhadap Soekarno dan amat berkepentingan agar orang ini disingkirkan secepatnya. Mungkin suatu kebetulan yang ajaib. Augustus C Long juga aktif di Presbysterian Hospital, New York di mana dia pernah dua kali menjadi presidennya (1961-1962). Sudah bukan rahasia umum lagi jika tempat ini merupakan salah satu simpul pertemuan tokoh CIA.

Lisa Pease dengan cermat menelusuri riwayat kehidupan tokoh ini. Antara tahun 1964 sampai 1970, Long pensiun sementara sebagai pimpinan Texaco. Apa saja yang dilakukan orang ini dalam masa itu yang di Indonesia dikenal sebagai masa yang paling krusial.

Lisa mendapakan data jika pada Maret 1965, Augustus C Long terpilih sebagai Direktur Chemical Bank, salah satu perusahaan Rockefeller. Agustus 1965, Long diangkat menjadi anggota dewan penasehat intelijen kepresidenan AS untuk masalah luar negeri.

Badan ini memiliki pengaruh sangat besar untuk menentukan operasi rahasia AS di negara-negara tertentu. Long diyakini salah satu tokoh yang merancang kudeta terhadap Soekarno, yang dilakukan AS dengan menggerakkan sejumlah perwira Angkatan Darat yang disebutnya sebagai “our local army friend”.

Salah satu bukti adalah sebuah telegram rahasia Cinpac 342, 21 Januari 1965, pukul 21.48, yang menyatakan ada kelompok Jenderal Suharto yang akan mendesak angkatan darat agar mengambil-alih kekuasaan tanpa menunggu Soekarno berhalangan. Mantan pejabat CIA Ralph Mc Gehee juga pernah bersaksi jika hal itu benar adanya.

Setelah Soeharto berkuasa, maka Freeport dengan leluasa menjarah Gunung Ersberg yang disamping terkandung tembaga juga terdapat kandungan emas dan perak, bahkan terdapat kandungan uranium.

Skenario Pesta Kenduri Bancakan SDA Indonesia di Genewa-Swiss Tahun 1967

Quote:Tumbangnya Soekarno dan naiknya Jenderal Suharto disambut gembira Washingon. Presiden AS Richard M. Nixon sendiri menyebut hal itu sebagai “Terbukanya upeti besar dari Asia”. Indonesia memang laksana peti harta karun yang berisi segala kekayaan alam yang luar biasa. Jika oleh Soekarno kunci peti harta karun ini dijaga baik-baik bahkan dilindungi dengan segenap kekuatan yang ada, maka oleh Jenderal Suharto, kunci peti harta karun ini malah digadaikan dengan harga murah kepada Amerika Serikat.

Sejak akhir 1940-an, AS sesungguhnya sudah mengamati gerak-gerik dua tokoh PSI bernama Soemitro Djojohadikusumo dan Soedjatmoko yang berasal dari kalangan elit. AS mengetahui jika keduanya menentang sikap Soekarno. Baik Soedjatmoko maupun Soemitro diketahui menyambut baik Marshall Plan. Bahkan Soedjatmoko berkata, “Strategi Marshall Plan untuk Eropa tergantung pada dapat dipergunakannya sumber-sumber alam Asia.” Koko, demikian panggilan Soedjatmoko, bahkan menawarkan suatu model Indonesia yang terbuka untuk bersekutu dengan Barat. Awal 1949, Soemitro di School of Advanced International Studies yang dibiayai Ford Foundation menerangkan jika pihaknya memiliki model sosialisme yang membolehkan dieksploitasinya kekayaan alam Indonesia oleh Barat ditambah dengan sejumlah insentif bagi modal asing (Suroso; Bung Karno, Korban Perang Dingin; 2008.p.301. Lihat juga Weisman dan Djojohadikoesoemo 1949: 9).

Prosesi digadaikannya seluruh kekayaan alam negeri ini kepada jaringan imperialisme dan kolonialisme Barat terjadi di Swiss, November 1967. Jenderal Suharto mengirim sat tim ekonomi dipimpin Sultan Hamengkubuwono IX, Adam Malik, dan Soemitro Djojohadikusumo. Tim ini kelak disebut sebagai Mafia Berkeley, menemui para CEO korporasi multinasional yang dipimpin Rockefeller. Dalam pertemuan inilah tanah Indonesia yang kaya raya dengan bahan tambang dikapling-kapling seenaknya oleh mereka dan dibagikan kepada korporasi-korporasi asing, Freeport antara lain mendapat gunung emas di Irian Barat, demikian pula yang lainnya. Bahkan landasan legal formal untuk mengeksploitasi kekayaan alam Indonesia pun dirancang di Swiss ini yang kemudian dikenal sebagai UU Penanaman Modal Asing tahun 1967 (John Pilger; The NewRulers of the World). Dan jangan lupa, semua COE korporasi asing tersebut dikuasai oleh jaringan Yahudi Internasional.

Ane kutip apa yang ditulis oleh John Pilger dalam bukunya yang berjudul “The New Rulers of the World.” Ane terjemahkan seakurat mungkin ke dalam bahasa Indonesia sebagai berikut :

Dalam bulan November 1967, menyusul tertangkapnya ‘hadiah terbesar’, hasil tangkapannya dibagi. The Time-Life Corporation mensponsori konferensi istimewa di Jenewa yang dalam waktu tiga hari merancang pengambil alihan Indonesia. Para pesertanya meliputi para kapitalis yang paling berkuasa di dunia, orang-orang seperti David Rockefeller. Semua raksasa korporasi Barat diwakili : perusahaan-perusahaan minyak dan bank, General Motors, Imperial Chemical Industries, British Leyland, British American Tobacco, American Express, Siemens, Goodyear, The International Paper Corporation, US Steel. Di seberang meja adalah orang-orangnya Soeharto (Sultan Hamengkubuwono IX, Adam Malik, dan Soemitro Djojohadikusumo) yang oleh Rockefeller disebut “ekonom-ekonom Indonesia yang top”.

Di halaman 39 ditulis : “Pada hari kedua, ekonomi Indonesia telah dibagi, sektor demi sektor. ‘Ini dilakukan dengan cara yang spektakuler’ kata Jeffrey Winters, guru besar pada Northwestern University, Chicago, yang dengan mahasiwanya yang sedang bekerja untuk gelar doktornya, Brad Simpson telah mempelajari dokumen-dokumen konferensi. ‘Mereka membaginya ke dalam lima seksi : pertambangan di satu kamar, jasa-jasa di kamar lain, industri ringan di kamar lain, perbankan dan keuangan di kamar lain lagi; yang dilakukan oleh Chase Manhattan duduk dengan sebuah delegasi yang mendiktekan kebijakan-kebijakan yang dapat diterima oleh mereka dan para investor lainnya. Kita saksikan para pemimpin korporasi besar ini berkeliling dari satu meja ke meja yang lain, mengatakan : ini yang kami inginkan : ini, ini dan ini, dan mereka pada dasarnya merancang infra struktur hukum untuk berinvestasi di Indonesia. Saya tidak pernah mendengar situasi seperti itu sebelumnya, di mana modal global duduk dengan para wakil dari negara yang diasumsikan sebagai negara berdaulat dan merancang persyaratan buat masuknya investasi mereka ke dalam negaranya sendiri.
Freeport mendapatkan bukit (mountain) dengan tembaga di Papua Barat (Henry Kissinger duduk dalam board). Sebuah konsorsium Eropa mendapat nikel Papua Barat. Sang raksasa Alcoa mendapat bagian terbesar dari bauksit Indonesia. Sekelompok perusahaan-perusahaan Amerika, Jepang dan Perancis mendapat hutan-hutan tropis di Sumatra, Papua Barat dan Kalimantan. Sebuah undang-undang tentang penanaman modal asing yang dengan buru-buru disodorkan kepada Soeharto membuat perampokan ini bebas pajak untuk lima tahun lamanya. Nyata dan secara rahasia, kendali dari ekonomi Indonesia pergi ke Inter Governmental Group on Indonesia (IGGI), yang anggota-anggota intinya adalah Amerika Serikat, Canada, Eropa, Australia dan, yang terpenting, Dana Moneter Internasional dan Bank Dunia.”

Demikian gambaran yang diberikan oleh Brad Simpson, Jeffrey Winters dan John Pilger tentang suasana, kesepakatan-kesepakatan dan jalannya sebuah konferensi yang merupakan titik balik masuknya kembali bangsa Indonesia kepada penjajahan ekonomi gaya baru, Neo-Liberalism.

Sejak Konferensi Jenewa bulan November 1967 yang digambarkan oleh John Pilger, dalam tahun itu juga lahir UU no. 1 tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing, yang disusul dengan UU No. 6 tahun 1968 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri, dan serangkaian perundang-undangan dan peraturan beserta kebijakan-kebijakan yang sangat jelas menjurus pada liberalsasi. Dalam berbagai perundang-undangan dan peraturan tersebut, kedudukan asing semakin lama semakin bebas, sehingga akhirnya praktis sama dengan kedudukan warga negara Indonesia. Kalau kita perhatikan bidang-bidang yang diminati dalam melakukan investasi besar di Indonesia, perhatian mereka tertuju pada pertumbuhan PDB Indonesia yang produknya untuk mereka, sedangkan bangsa Indonesia hanya memperoleh pajak dan royalti yang sangat minimal.

Bidang-bidang ini adalah pertambangan dan infra struktur seperti listrik dan jalan tol yang dari tarif tinggi yang dikenakan pada rakyat Indonesia mendatangkan laba baginya.

Bidang lain adalah memberikan kredit yang sebesar-besarnya dengan tiga sasaran : pertama, memperoleh pendapatan bunga, kedua, proyek yang dikaitkan dengan hutang yang diberikan di mark up (korupsi), dan dengan hutang kebijakan Indonesia dikendalikan melalui anak bangsa sendiri, terutama yang termasuk kelompok Mafia Berkeley untuk ekonomi dan kelompok The Ohio Boys untuk bidang politik.

Keseluruhan ini sendiri merupakan cerita yang menarik dan bermanfaat sebagai bahan renungan introspeksi betapa kita sejak tahun 1967 sudah dijajah kembali dengan cara dan teknologi yang lebih dahsyat.

Sejak tahun 1967, pengerukan dan penyedotan kekayaan alam Indonesia oleh kekuatan asing, terutama mineral yang sangat mahal harganya dan sangat vital itu dilakukan secara besar-besaran dengan modal besar dan teknologi tinggi. Para pembantunya adalah bangsa sendiri yang berhasil dijadikan kroni-kroninya.

Soekarno dan JFK adalah sama-sama korban dari Neo imperialisme yang dikendalikan oleh corporate-corporate yang dimiliki oleh Zionis yang tersebar di Amerika dan Eropa. Mereka adalah pengendali kapitalisme dan terus melanggengkan imperialisme ke negara timur dan Asia.

Masihkah kita ada di blok barat???
Waspadai tangan-tangan blok barat yang berupaya melanggengkan kepentingannya di negeri ini.

Merdeka...!!!

#HWMI #NU

https://m.facebook.com/story.php?story_fbid=1626684494060756&id=1549599298435943

Rabu, 27 September 2017

Misteri Letusan Gunung Agung, Karangasem, 1963

(2)

Warga terpaksa melewati sungai yang jembatannya terputus akibat terjangan lahar dingin Gunung Agung.

Dari catatan dan wawancara tim expedisi Ring of Fire, ada beberapa kisah memilukan dan juga "kemanusiaan" saat gunung Agung ini meletus, ini petikan dari hasil wawancara nya : Pura di Badeg Dukuh dan Sogra hancur.

Hampir seluruh bangunan ambruk diterjang awan panas dan telah menewaskan 109 warga Badeg Dukuh dan 102 warga Sogra. Bagi sebagian orang, sikap warga Sogra dan Badeg mungkin dianggap mencari mati.

Namun, tidak bagi masyarakat Bali waktu itu. Badeg Dukuh, menurut budayawan Bali, Cok Sawitri, memang bukan perdukuhan biasa.

"Kepala dukuhnya seperti juru kunci Gunung Agung, seperti Mbah Marijan (di Gunung Merapi, Yogyakarta). Dia bertugas berkomunikasi dengan Gunung Agung. Saat meletus, dia memang tak mau mengungsi," katanya.

Saksi mata yang mengevakuasi korban awan panas di Badeg Dukuh pada waktu itu bercerita bahwa di pura itu seperti upacara penyambutan, semacam odalan.

Saat ditemukan, para korban dalam posisi duduk menabuh gamelan. Kepala dukuh duduk dengan genta masih di tangan. Dia berdoa," katanya.

Semua korban, menurut Cok Sawitri, berlapis debu. "Saat disentuh langsung hancur." Cok yakin, orang-orang yang meninggal di pura Badeg Dukuh itu sengaja menyambut letusan.

"Itu barangkali ungkapan kesetiaan sebagai kuncen," katanya.

Keyakinan Cok Sawitri itu didasari cerita dari pamannya, Cokorda Gde Dangin, yang pada saat letusan menjadi Perbekel Desa Sidemen.

Menjelang letusan pada Minggu pagi itu, anak-anak dari Badeg Dukuh, termasuk anak dari Kepala Badeg Dukuh, datang ke rumah Gde Dangin.

Mereka meminta izin mengungsi di Sidemen karena Gunung Agung dipercaya akan meletus hebat.

"Paman lalu bertanya, bapak kalian mana?” kisah Cok Sawitri. Anak-anak itu menjawab, ayah mereka tidak ikut karena harus mengiringi perjalanan Bathara Gunung Agung menuju samudra.

"Barangkali orang-orang di Badeg Dukuh itu disuruh memilih, mau menyambut letusan gunung itu atau mengungsi," kata Sawitri.

Foto : Robert F. Sisson
Sumber : (Departemen Penerangan, Denpasar, Kompas & kaskus)
#sejarah  #bali  #sejarahbali 
www.sejarahbali.com

Bukti Terbaru G30S/PKI : Soeharto Dalang Pembunuhan Ahmad Yani?

Oleh : Ahmad Yanuana Samantho

Kesaksian mantan Menteri Pengairan Dasar zaman Orde Lama HARYA SUDIRJA bahwa Bung Karno menginginkan Menpangad Letjen Achmad Yani menjadi Presiden kedua bila kesehatan Proklamator itu menurun, ternyata sudah lebih dahulu diketahui isteri dan putra-putri pahlawan revolusi tersebut.

“Bapak sendiri sudah cerita kepada kami (isteri dan putra-putri Yani) bahwa dia bakal menjadiPresiden.Waktu itu Bapak berpesan, jangan dulu bilang sama orang lain”, ujar putra-putri Achmad Yani : Rully Yani, Elina Yani,Yuni Yani dan Edi Yani – Sebelumnya diberitakan dalam acara diskusi “Jakarta – Forum Live, Peristiwa G-30S/PKI, Upaya Mencari Kebenaran” terungkap kesaksian baru, yaitu beberapa hari sebelum peristiwa kelam dalam sejarah republik ini meletus, Bung Karno pernah meminta Menpangad Letjen Achmad Yani menggantikan dirinya menjadi presiden bila kesehatan proklamator itu menurun.

Kesaksian tersebut disampaikan salah satu peserta diskusi: Harya Sudirja. Menurut mantan Menteri Pengairan Dasar zaman Orde Lama ini, hal itu disampaikan oleh Letjen Achmad Yanisecara pribadi pada dirinya dalam perjalanan menuju Istana Bogor tanggal 11 September 1965. Putra-putri Achmad Yani kemudian menjelaskan, kabar baik itu sudah diketahui pihak keluarga 2 (dua) bulan sebelum meletusnya peristiwa berdarah G-30S/PKI. “Waktu itu ketika pulang dari rapat dengan Bung Karno beserta para petinggi negara, Bapak cerita sama ibu bahwa kelak bakal jadi presiden”, kenang Yuni Yani, putri keenam Achmad Yani. “Setelah cerita sama ibu, esok harinya sepulang main golf, Bapak juga menceritakan itu kepada kami putra-putrinya. Sambil tertawa, kami bertanya, “Benar nih Pak?” Jawab Bapak ketika itu, “Ya”, ucapnya. Menurut Yuni, berita baik itu juga mereka dengar dari ajudan Bapak yang mengatakan Bapak bakal jadi presiden. Makanya ajudan menyarankan supaya siap-siap pindah ke Istana.

Sedangkan menurut Elina Yani (putri keempat), saat kakaknya Amelia Yani menyusun buku tentang Bapak, mereka menemui Letjen Sarwo Edhie Wibowo sebagai salah satu nara sumber. “Waktu itu, Pak Sarwo cerita bahwa Bapak dulu diminta Bung Karno menjadi presiden bila kesehatan Proklamator itu tidak juga membaik. Permintaan itu disampaikan Bung Karno dalam rapat petinggi negara. Di situ antara lain, ada Soebandrio, Chaerul Saleh dan AH Nasution”, katanya. “Bung Karno bilang, Yani kalau kesehatan saya belum membaik kamu yang jadi Presiden”, kata Sarwo Edhie seperti ditirukan Elina.

Pada prinsipnya, tambah Yuni pihak keluarga senang mendengar berita Bapak bakal jadi Presiden. Namun ibunya (Alm.Nyonya Yayuk Ruliah A.Yani) usai makan malam membuat ramalan bahwa kalau Bapak tidak jadi presiden, bisa dibunuh. “Ternyata ramalan ibu benar. Belum sempat menjadi presiden menggantikan Bung Karno,Bapak dibunuh secara kejam dengan disaksikan adik-adik kami. Untung dan Eddy. “Kalau Bapakmu tidak jadi presiden, ya nangendi (bahasa Jawa artinya :kemana) bisa dibunuh”, kata Nyonya Yani seperti ditirukanYuni. Lalu siapa pembunuhnya ?

Menurut Yuni, Ibu dulu mencurigai dalang pembunuhan ayahnya adalah petinggi militer yang membenci Achmad Yani. Dan yang dicurigai adalah Soeharto. Mengapa Soeharto membenci A.Yani ? Yuni mengatakan,sewaktu Soeharto menjual pentil dan ban yang menangkap adalah Bapaknya. “Bapak memang tidak suka militer berdagang.Tindakan Bapak ini tentunya menyinggung perasaan Soeharto”.

“Selain itu, usia Bapak juga lebih muda, sedangkan jabatannya lebih tinggi dari Soeharto”, katanya. Sedangkan Rully Yani (putri sulung) yakin pembunuh Bapaknya adalah prajurit yang disuruh oleh atasannya.”Siapa orangnya, ini yang perlu dicari”, katanya.Mungkin juga, lanjutnya, orang-orang yang tidak suka terhadap sikap Bapak yang menentang upaya mempersenjatai buruh, nelayan dan petani. “Bapak dulu kan tidak suka rakyat dipersenjatai.

Yang bisa dipersenjatai adalah militer saja”, katanya. Menurut dia, penjelasan mantan tahanan politik G-30S/PKI Abdul Latief bahwa Soeharto dalang G-30S/PKI sudah bisa menjadi dasar untuk melakukan penelitian oleh pihak yang berwajib. “Ini penting demi lurusnya sejarah. Dan kamipun merasa puas kalau sudah tahu dalang pembunuhan ayah kami”, katanya.

Dia berharap, kepada semua pelaku sejarah yang masih hidup bersaksilah supaya masalah itu bisa selesai dengan cepat dan tidak menjadi tanda tanya besar bagi generasi muda bangsa ini. Kesaksian istri dan putra-putri A.Yani bahwa Bapaknyalah yang ditunjuk Bung Karno untuk jadi Presiden kedua menggantikan dirinya, dibenarkan oleh mantan Asisten Bidang Operasi KOTI (Komando Operasi Tertinggi), Marsekal Madya (Purn) Sri Mulyono Herlambang dan ajudan A.Yani, Kolonel (Purn) Subardi.

Apa yang diucapkan putra-putri Jenderal A.Yani itu benar. Dikalangan petinggi militer informasi tersebut sudah santer dibicarakan. Apalagi hubungan Bung Karno dan A.Yani sangat dekat, ujar Herlambang. Baik Herlambang maupun Subardi menyebutkan, walaupun tidak terdengar langsung pernyataan Bung Karno bahwa dia memilih A.Yani sebagai Presiden kedua jika ia sakit, namun keduanya percaya akan berita itu.

“Hubungan Bung Karno dengan A.Yani akrab dan Yani memang terkenal cerdas, hingga wajar jika kemudian ditunjuk presiden”,kata Herlambang. “Hubungan saya dengan A.Yani sangat dekat, hingga saya tahu betapa dekatnya hubungan Bung Karno dengan A.Yani”, ujar Herlambang yang saat ini sedang menyusun buku putih peristiwa G-30S/PKI. Menyinggung tentang kecurigaan Yayuk Ruliah A.Yani (istri A.Yani), bahwa dalang pembunuhsuaminya adalah Soeharto, Herlambang mengatakan bisa jadi seperti itu. Pasalnya 2 (dua) bulan sebelum peristiwa berdarah PKI, Bung Karno sudah menunjuk A.Yani sebagai penggantinya.

Tentu saja hal ini membuat iri orang yang berambisi jadi presiden.Waktu itu peran CIA memang dicurigai ada, apalagi AS tidak menyukai Bung Karno karena terlalu vokal. Sedangkan Yani merupakan orang dekat Bung Karno. Ditambahkan Herlambang, hubungan A.Yani dengan Soeharto saat itu kurang harmonis. Soeharto memang benci pada A.Yani. Ini gara-gara Yani menangkap Soeharto dalam kasus penjualan pentil dan ban. Selain itu Soeharto juga merasa iri karena usia Yani lebih muda, sementara jabatannya lebih tinggi.

Terlebih saat A.Yani menjabat Kepala Staf Angkatan Darat (KASAD), Bung Karno meningkatkan status KASAD menjadi Panglima Angkatan Darat. “Dan waktu itu A.Yani bisa melakukan apa saja atas petunjuk Panglima Tertinggi Soekarno, tentu saja hal ini membuat Soeharto iri pada A.Yani. Dijelaskan juga, sebenarnya mantan presiden Orde Baru itu tidak hanya membenci A.Yani,tapi semua Jenderal Pahlawan Revolusi. D.I.Panjaitan dibenci Soeharto gara-gara persoalan pengadaan barang dan juga berkaitan dengan penjualan pentil dan ban. Sedangkan kebenciannya terhadap MT. Haryono berkaitan dengan hasil sekolah di SESKOAD. Disitu Soeharto ingin dijagokan tapi MT.Haryono tidak setuju. Terhadap Sutoyo, gara-gara ia sebagai Oditur dipersiapkan untuk mengadili Soeharto dalam kasus penjualan pentil dan ban itu.

Menurut Subardi, ketahuan sekali dari raut wajah Soeharto kalau dia tidak menyukai A.Yani. Secara tidak langsung istri A.Yani mencurigai Soeharto. Dicontohkan, sebuah film Amerika yang ceritanya AD disuatu negara yang begitu dipercaya pemerintah, ternyata sebagai dalang kudeta terhadap pemerintahan itu. Caranya dengan meminjam tangan orang lain dan akhirnya pimpinan AD itulah yang menjadi presiden. “Peristiwa G-30S/PKI hampir sama dengan cerita film itu”, kata Nyonya Yani seperti ditirukan Subardi.

Catatan penulis:

Saya ambil artikel ini dari berbagai sumber dan milis-milis dengan harapan klarifikasi dari para pembaca yang budiman. Sampai saat ini masih menggelayut pertanyaan di setiap kepala rakyat Indonesia tentang bagaimana fakta yang sebenarnya dari peristiwa kelam ini. Masih ada tokohtokoh dan narasumber dari kisah kelam sejarah masa lalu ini yang masih hidup.

Disinilah perlunya penuntasan 100% dan jawaban yang adil dan penyelidikan yang transparan bagi masalah yang menyangkut peristiwa G30S. Masih diperlukan penyelidikan lanjutan yang independen untuk menyingkap fakta-fakta seputar sejarah kelam ini.

Dalam pembelaannya, Kol. Latief menyatakan, bahwa tidak ada maksud untuk membunuh para jendral, tetapi hanya ingin menghadapkannya kepada Presiden Sukarno untuk mengklarifikasi tentang adanya berita tentang rencana kudeta oleh Dewan Jendral yang akan dilakukan pada tgl 5.Oktober 1965.

Belakangan terungkap, bahwa yang menyuruh agar membunuh para jendral ternyata Komandan pasukan yang bernama Doel Arif.

Lettu. Doel Arif adalah tokoh yang bertanggung jawab dalam menangkap jenderal jenderal Angkatan Darat yang diduga akan membentuk Dewan Jenderal dalam peristiwa Gerakan 30 September 1965.

Sebagai komandan Pasukan Pasopati yang menjadi operator G30S, ia adalah tokoh kunci. Ia bertanggung jawab terhadap operasi penculikan jenderal-jenderal pimpinan AD.

Belakangan terungkap, bahwa Doel Arif adalah seorang kepercayaan, malah dibilang anak kesayangan Ali Murtopo. Dan Ali Murtopo bersama Yoga Sugama adalah dua tokoh utama yang bersama Suharto sebagai Trio (Suharto-Ali Murtopo-Yoga Sugama) yang berperan menentukan dalam setiap langkah Suharto dalam melancarkan kudeta merangkak, dengan dukungan Blok Barat dibawah pimpinan CIA /AS menggulingkanpemerintahan Presiden Sukarno.

Nasib Lettu. Doel Arief, yang ditangani langsung oleh Ali Moertopo, hilang bak ditelan bumi, sampai sekarang tidak ada yang tahu.

Kenapa Suharto pantas diduga sebagai dalang dibalik G30S ?

Pada tanggal 21 September 1965, Kapten Soekarbi mengaku menerima radiogram dari Soeharto yang isinya perintah agar Yon 530 dipersiapkan dalam rangka HUT ABRI ke- 20 pada tanggal 5 Oktober 1965 di Jakarta dengan perlengkapan tempur garis pertama.

Setelah persiapan, pasukan diberangkatkan dalam tiga gelombang, yaitu tanggal 25,26,dan 27 September.

Pada tanggal 28 September pasukan diakomodasikan di kebun Jeruk bersama dengan Yon 454 dan Yon 328. Tanggal 30 September seluruh pasukan melakukan latihan upacara. Pukul tujuh malam semua Dan Ton dikumpulkan untuk mendapatkan briefing dari Dan Yon 530, Mayor Bambang Soepono. Dalam briefing tersebut disebutkan bahwa Ibu kota Jakarta dalam keadaan gawat. Ada kelompok Dewan Jenderal yang akan melakukan kudeta terhadap pemerintahan RI yang sah. Briefing berakhir pada pukul 00.00. Pukul dua pagi tanggal 1 Oktober, Kapten Soekarbi memimpin sisa Yon 530 menuju Monas. Di kompleks Monas mereka berkedudukan di depan istana. Pada saat itu, karena kedudukan mereka dekat Makostrad, pasukan pun sering keluar masuk Makostrad untuk ke kamar kecil. Karena tidak ada teguran dari Kostrad, berarti Kostrad tahu bahwa mereka ada di sana.

Pukul setengah delapan Kapten Soekarbi melapor pada Soeharto tentang keadaan ibu kota yang gawat serta adanya isu Dewan Jenderal. Namun Soeharto menyangkal berita tersebut.

Kapten Soekarbi sendiri mengaku tidak mengetahui terjadinya penculikan para Jenderal. Ia tetap merasa aman karena Pangkostrad Soeharto telah menjamin keadaan tersebut. Namun ia berpendapat bahwa Soeharto pasti lah tahu tragedi penculikan para Jenderal tersebut. Karena pada tanggal 25 September Kolonel Latief telah memberikanmasukan tentang keadaan yang cukup genting tersebut kepada Soeharto. Jadi sebenarnya mustahil apabila Soeharto tidak mengetahui tragedi tersebut.

Yang patut dipertanyakan lagi adalah mengapa Soeharto tidak melakukan pencegahan terjadinya tragedi tersebut. Kebiasaan dalam militer, apabila ada gerakan yang disinyalir akan membunuh atasan akan langsung dicegah. Namun kenyataanya Soeharto tidak sedikit pun mengambil sikap. Padahal apabila ditelusur ia sangat mampu mencegah kejadian tersebut. Pada saat itu, mereka sedang mempersiapkan HUT ABRI. Kostradlah yang bertanggung jawab atas pelaksanaan acara tersebut. Jadi semua pasukan di Jakarta berada di bawah kendali Kostrad. Seharusnya Soeharto bisa memerintahkan pasukan untuk mencegahnya.

Dalam cerita versi Soeharto dan Orde Baru disebutkan terdapat pasukan liar di sekitar Monas. Kesaksian Kapten Soekarbi juga mematahkan pernyataan tersebut. Soeharto sendiri yang mengirimkan radiogram pada Kapten Soekarbi untuk mendatangkan pasukannya ke Jakarta. Tentunya ia mengenali pasukan siapa yang berada di Monas kala itu. Kostrad pun mengetahui kehadiran Yon 530. Namun pada kenyataannya Soeharto membiarkan pernyataan yang mengatakan bahwa terdapat pasukan liar pada saat itu.

***

Kejanggalan lain tampak dalam beberapa pengakuan Soeharto adalah pengakuan dan perkiraannya tentang kedatangan Kolonel Latief saat menjengu anaknya, Tomy Soeharto di Rumah Sakit Gatot Subroto. Dalam versinya ia hanya mengaku hanya melihat Kolonel Latief di zaal dimana anaknya dirawat. Namun kejadian yang sebenarnya adalah mereka sempat berbincang-bincang. Pada saat itu Kolonel Latief melaporkan bahwa besok pagi akan ada tujuh jenderal yang akan dihadapkan pada presiden. Namun pada saat itu Soeharto tidak bereaksi. Ia hanya menanyakan siapa yang akan menjadi pemimpinnya. Tapi dari hasil wawancara Soeharto dengan seorang wartawan Amerika, ia mengatakan”…….Kini menjadi jelas bagi saya, bahwa Latief ke rumah sakit malam itu bukan untuk menengok anak saya, melainkan sebenarnya untuk mengecek saya. Rupanya ia hendak membuktikan kebenaran berita , sekitar sakitnya anak saya, ……”.

Sedangkan dalam majalah Der Spiegel (Jerman Barat) Soeharto berkata.”Kira-kira jam 11 malam itu, Kolonel Latief dan komplotannya datang ke Rumah Sakit untuk membunuh saya, tetapi tampaknya ia tidak melaksanakan berhubung kekhawatirannya melakukan di tempat umum.” Dengan demikian ada tiga versi yang dikeluarkan oleh Soeharto sendiri tentang pertemuannya dengan Kolonel Latief. Hal ini sangat lah memancing kecurigaan bahwa Soeharti hanyalah mencari alibi untuk menghindari tanggung jawabnya.

***

Penyajian adegan penyiksaan ke enam jenderal dalam film G/30/S/PKI ternyata juga dapat digolongkan sebagai salah satu kejanggalan cerita versi Soeharto. Serka Bungkus adalah anggota Resimen Cakrabirawa. Pada saat itu ia mendapat tugas ”menjemput” M.T Haryono. Ia turut menyaksikan pula penembakan keenam Jenderal di Lubang Buaya. Ia menyatakan bahwa proses pembunuhan keenam Jenderal tidak melalui proses penyiksaan seperti pada film G/30/S/PKI. Satu per satu Jenderal dibawa kemudian duduk di pinggir lubang setelah itu ditembak dan akhirnya masuk ke dalam Lubang. Serka Bungkus mengetahui adanya visum dari dokter yang menyatakan tidakada tindak penganiayaan. Namun sepengetahuannya Soeharto melarang mengumumkan hal itu.

Selain itu salah satu dokter yang melakukan visum, Prof. Dr. Arif Budianto juga menyatakan bahwa tidak ada pelecehan seksual dan pencongkelan mata seperti yang ditayangkan dalam film. Memang pada saat dilakukan visum ada mayat dengan kondisi bola matanya ’copot’. Tapi hal itu terjadi karena sudah lebih dari tiga hari terendam bukan karena dicongkel paksa. Karena di sekitar tulang mata pun tidak adabagian yang tergores.

Tentu kita tidak dapat menduga-duga apa tujuan dan motif Soeharto menyembunyikan hasil visum. Dalam hal ini ia terkesan ingin memperparah citra PKI agar dugaan bahwa PKI lah yang ada di belakang tragedi ini semakin kuat. Kebencian masyarakat pada PKI pun akan memuncak dengan melihatnya.

***
Satu hal yang paling menjadi kontroversi dari tragedi tersebut adalah banyaknya orang-orang yang dituduh mendukung PKI dan pada akhirnya dijebloskan ke penjara. Antara lain adalah Kolonel Latief, Letkol Heru Atmodjo, Kapten Soekarbi, Laksda Omar Dani, Mayjen Mursyid, dan masih banyak lagi. Kebanyakan dari mereka ditahan tanpa melalui proses peradilan. Orang- orang tersebut kebanyakan mengetahui bagaimana sebenarnya hal itu terjadi. Seperti contohnya Kapten Soekarbi. Ia ditahan setelah membuat laporan tentang kejadian yang ia alami pada tanggal 30 September dan 1 Oktober 1965. Penahanan tanpa proses peradilan ini dapat disinyalir sebagaisebuah upaya yang dilakukan Soeharto agar saksi-saksi kunci tidak dapat menceritakan kejadian yang sesungguhnya pada khalayak. Ketakutan yang dialami Soeharto ini tentunya justru semakin memperkuat anggapan bahwa dialah dalang di balik peristiwa G/30/S/PKI.

https://ahmadsamantho.wordpress.com/2015/08/31/bukti-terbaru-g30spki-soeharto-dalang-pembunuhan-ahmad-yani/

Selasa, 26 September 2017

Tragedi Tanjung Priok 12 September 1984: Musibah dalam Musibah.

#MELAWAN_LUPA

Rezim Orde Baru meninggalkan bekas luka hingga kini bagi umat Islam. Pada akhir 60-an menjelang awal 70-an rezim ini mulai menekan umat Islam demi panggung pemilu, maka selepas pemilu 1971, rezim orba mulai menampakkan wajah sebenarnya, termasuk pada umat Islam di Indonesia.[1]

Berbagai tekanan mulai dilancarkan kepada umat Islam. Setelah menolak memberikan izin bagi para tokoh-tokoh Masyumi untuk berpolitik, rezim ini juga menekan kaum Nahdiyin di tanah air. NU yang beroposisi pada rezim orde baru, serta kencang mengkritik Soeharto dan kabinetnya, ditekan keras. Kebijakan-kebijakan orde baru terhadap umat Islam memang pantas dikritik, bahkan ditentang. Mulai dari RUU Perkawinan yang mengesampingkan Syariat Islam, rencana rezim Orba untuk mengakomodir aliran kepercayaan sejajar dengan agama, persoalan P4 hingga upaya orde baru untuk membungkam politik umat Islam lewat mengasingkan para tokoh Masyumi dari politik, seperti terhadap M. Natsir, Moh Roem yang tak diizinkan menjadi ketua Parmusi, hingga peleburan partai-partai Islam menjadi satu partai yaitu Partai Persatuan Pembangungan (PPP).[2]

Umat Islam saat itu benar-benar dipinggirkan aspirasinya. Tak mengherankan, karena Suharto saat itu memilih orang-orang terdekatnya dari kalangan bukan Islam, termasuk kejawen. Ali Moertopo dan Hoemardani yang berada dalam lingkaran kekuasaan Orde Baru memaksimalkan pengaruhnya melalui think-thank Centre for Strategic and International Studies (CSIS).[3]

Upaya rezim Orde Baru yang menyatukan partai Islam dalam satu partai justru menjadi blunder ketika Partai Persatuan Pembangunan (PPP) malah mendulang suara di pemilu 1977. Golkar yang sempat terancam kalah ketika itu, membuat Suharto memikirkan kembali kebijakan untuk menghadang peran umat Islam dalam politk kala itu. Isu-isu seperti ekstrim kanan, ‘Komando Jihad’ menjadi hembusan permainan intelejen yang dihembuskan untuk mendiskreditkan geraakan umat Islam. Mantan Menteri Agama yang juga tokoh NU, KH Saifuddin Zuhri pun mengkritik isu-isu ‘Komando Jihad’ yang dihembuskan rezim Orde Baru,

“Bagaimanapun, secara sepintas lalu, isyu ‘Komando Jihad’ bisa dikesankan untuk ditujukan kepada Ummat Islam, sekurang-kurangnya kepada golongan yang dikatagorikan ‘ekstrim.’ Kitapun tidak lebih tahu, siapa golongan ‘ekstrim’ tersebut. Apakah yang anti Orde Baru? Yang anti Pancasila? Yang anti UUD 45? Yang anti Pembangunan? Yang anti musyawarah?”[4]

Aksi-aksi protes umat Islam baik terhadap kebijakan orde Baru semakin menghebat kala Suharto menentukan Pancasila sebagai asas tunggal. Polemik asas tunggal Pancasila semakin menghebat di masyarakat dan ormas-ormas Islam. Penolakan-penolakan terhadap Pancasila sebagai asas tunggal juga menggema di masjid-masjid. Gelombang penentangan umat Islam terhadap rezim orde baru memang tampak menguat. Namun tak ada yang menyangka, Suharto dan rezim Orba akan melakukan suatu kekejian yang luar biasa terhadap umat Islam. Kekejian yang kelak kita akan mengenangnya sebagai Tragedi Tanjung Priok.

Tanjung Priok, salah satu wilayah dengan pemukiman padat di Jakarta, menjadi saksi kekejian rezim orde Baru terhadap umat Islam. Awal mula kejadian ini, ketika tanggal 8 September 1984, seorang Bintara Pembina Desa (Babinsa), bernama Hermanu, memasuki Mushola As-Sa’adah di Gang IV Koja, Tanjung Priok. Menurut kesaksian masyarakat ia masuk masjid tanpa melepas sepatu (meski Hermanu sendiri kelak membantahnya). Di sana, ia keberatan dengan sebuah pamflet yang tertempel di dinding yang menurutnya mengandung unsur SARA (Suku, Agama, Ras dan Antar Golongan). Padahal pamflet tersebut hanya pengumuman pengajian rutin biasa. Menurut Hermanu, ia kemudian memakai air selokan yang hitam itu untuk melepas pamflet yang melekat dengan kuat di papan pengumuman. Namun menurut kesaksian ia menyiram pamflet tersebut dengan air selokan.[5]

Keesokan harinya, kejadian di mushola tersebut menjadi pembicaraan warga. Namun tak ada penyelesaian dari aparat terhadap masalah ini. Tanggal 10 September 1984, Hermanu dan rekannya, diketahui keberadaannya oleh jemaah As-Sa’adah, yaitu Syarifudin Rambe dan Syofwan. Kemudian terjadi perdebatan diantara mereka. Mereka kemudian melakukan pembicaraan di Pos RW 05. Ketika pembicaraan tengah berlangsung, tiba-tiba massa di luar sudah ramai. Menurut Hermanu, saat itu, massa berusaha menyerang dirinya. Namun karena tak dapat menggapai dirinya, massa di luar yang tak terkait dengan masalah ini kemudian merusak dan membakar sepeda motor Koramil. Anggota Polres kemudian datang dan menangkap empat orang, yaitu Syofwan, Syarifudin Rambe, Ahmad Sahi dan Mohammad Noor, yang dituduh membakar motor tersebut. Mohammad Noor sendiri membantah telah membakar motor tersebut, ia mengaku hanya memukul motor tersebut.[6]
Anehnya, aksi-aksi provokatif Hermanu malah tidak ditindaklanjuti oleh aparat.

Tanggal 11 September, warga meminta tokoh masyarakat setempat, Amir Biki untuk meminta aparat membebaskan keempat orang yang ditangkap. Amir Biki, muslim yang taat, dan ditokohkan oleh masyarakat Tanjung Priok, memang menjadi orang yang biasa berhubungan dengan pihak militer (pemerintah). Amir Biki juga mengenal H.M.A. Sampurna, yaitu Asintel (Asisten Intel) Kodam Jaya. H.M.A. Sampurna mengaku dihubungi Amir Biki untuk membebaskan keempat orang tersebut yang ditahan di Polres atau Kodim. Namun permintaan tersebut ditampik oleh H.M.A. Sampurna.[7]

Tanggal 12 September, sebuah pengajian besar, yang memang sudah direncanakan jauh-jauh hari diadakan di Jalan Sindang, lorong 102. Pengajian itu sendiri memang dihadiri oleh Amir Biki, namun ia bukan orang yang direncanakan untuk berceramah di pengajian tersebut, karena Amir Biki memang bukan mubaligh. Pengajian tersebut diisi oleh beberapa ustadz, yaitu, Syarifin Maloko, Salim Kadar, M Nasir (bukan M. Natsir tokoh Masyumi dan DDII), dan Ratono.[8]

Acara pengajian yang dimulai pukul 20.00 itu kemudian berujung memanas. Masyarakat yang masih tak puas dengan penyelesaian kejadian di As-Sa’adah. Pukul 22.30, Amir Biki kemudian didaulat untuk berbicara di atas panggung.Di depan jama’ah yang berjumlah ribuan, Amir Biki mengajak jama’ah untuk menuntut pembebasan keempat orang yang ditangkap. Ia kemudian berkata, “Kita tunggu sampai jam 23.00 WIB, apabila keempat orang ini tidak dibebaskan juga, maka kita semua ke Kodim! Malam ini akan ada banjir darah. Karena saya tahu moncong senjata TNI telah diarahkan ke kepala saya!” Perkataan Amir Biki berhenti sejenak, kemudian dilanjutkan dengan, “Apabila saya meninggal malam ini, saya minta kepada jamaah untuk mengusung jenazah saya keliling Jakarta!” Amir Biki juga mengingatkan, “Jangan mengecewakan saya, saya peringatkan bahwa yang membuat kegaduhan itu bukan jamaah kita,” serunya.[9]

Ia kemudian memimpin massa untuk menuju ke Kodim. Namun tujuannya bukan untuk melawan aparat, apalagi memberontak. Amir Biki mengatakan pada kawannya Husain Safe saat itu, ketika Husein menolak ikut jika tujuan mereka untuk memberontak. “Bukan untuk itu, dan saya minta jangan ada yang melawan aparat karena itu bukan tujuan kita!”, tegas Amir Biki.[10]

Massa pun bergerak menuju Kodim. Di jalan mereka bertakbir, sambil membawa bendera hijau bertuliskan kalimat Tauhid. Tidak ada aksi anarkis sepanjang jalan. Namun belum sampai Kodim, persis di depan gerja di samping Mapolres Jakarta Utara, massa terhenti. Mereka dihadang aparat tentara, yang jumlahnya tak banyak saat itu, hanya belasan orang. Barisan massa di depan berhenti, namun mereka terdesak untuk maju oleh massa yang ada di belakang. Saat rombongan yang berada di depan barisan berusaha menahan massa untuk berhenti, tiba-tiba terdengar bunyi tembakan. Massa pun panik, berhamburan. Tembakan kemudian terus menyusul, senapan menyalak menghujani massa, tanpa henti 10 hingga 15 menit.[11]

Orang-orang bertumbangan, berteriak, Allaahu Akbar-Allaahu Akbar menggema. Husain Safe yang saat itu berada di barisan depan mengisahkan kejadian brutal tersebut,

“Detik-detik berlalu begitu mencekam. Tak lama kemudian aparat-aparat yang menembak bergerak mundur agak jauh dari saya sambil terus menembak. Mereka mencoba melihat lebih jauh ke belakang, ke arah rombongan lain yang menuju kami. Ternyata itu adalah rombongan Amir Biki. Saya dengar ada yang berteriak bahwa itu adalah Amir Biki. Disusul lagi teriakan dari anggota pasukan lainnya, “Habisi saja!!”[12]

Amir Biki pun tumbang. Begitu pula massa lainnya. Mayat-mayat bergelimpangan di antara orang-orang yang terkapar terluka, di jalan dan di selokan. Tentara terus memburu massa dalam kegelapan akibat lampu dimatikan secara serentak. Kelak diketahui, lampu-lampu itu padam akibat dimatikan langsung dari pusat oleh PLN. Tentara memburu siapa saja. Orang yang lari ditembak hingga rubuh. Orang-orang yang tiarap dilindas truk tentara yang datang sekonyong-konyong. Orang-orang yang bersembunyi di selokan mendengar jelas jeritan-jeritan orang terlindas dan suara tulang remuk. Mereka terus menembaki bahkan dari atas truk. Setelah 10 hingga 15 menit, tembakan-tembakan kemudian berhenti.[13]

Aparat itu memeriksa siapapun yang tergeletak. Mencari yang masih hidup. Beberapa orang yang terluka namun masih hidup, berpura-pura mati. Termasuk Yusron Zaenuri. Ia berpura-pura mati. Mayat-mayat kemudian ditumpuk dan dilempar ke atas truk. Yusron Zaenuri, dilempar ke truk bertumpuk-tumpuk dengan mayat. Dua mobil truk besar penuh dengan mayat. Tak lama kemudian datang ambulans dan mobil pemadam kebakaran, membersihkan jalan dari genangan darah. Ratusan orang menjadi korban. Namun, pemerintah memberikan versi berbeda. Panglima ABRI Jenderal L.B. Moerdani yang meninjau lokasi tak lama setelah peristiwa keji tersebut menyatakan hanya sembilan yang tewas dan 53 luka-luka. Menurut versi Pemerintah, massa bertindak anarkis, meski para korban yang bersaksi menolak pernyataan tersebut.. L.B. Moerdani beserta Pangdam Jaya Mayjen Try Sutrisno juga mengunjungi RSPAD, lokasi tempat korban luka-luka dirawat seadanya.[14]

Umat Islam, beserta para tokoh masyarakat mengecam peristiwa tersebut. Para tokoh Islam seperti Syafrudin Prawiranegara, Burhanuddin Harahap, Anwar Harjono, AM Fatwa hingga tokoh nasional seperti Hoegeng, Ali Sadikin, HR Dharsono menandatangani Lembar Putih 22 yang berisi keprihatinan tentang pernyataan sepihak dari pemerintah. Lembar Putih 22 juga mengeluarkan kronologis dan fakta berbeda dari versi pemerintah. Mereka menyebut keterangan sepihak pemerintah sebagai “musibah dalam musibah.”[15]

Peristiwa ini memang tak hanya musibah dalam musibah, tetapi juga musibah berlanjut musibah. Kekejian aparat rezim Orde Baru tak hanya puas dengan membantai umat Islam di lokasi tetapi dilanjutkan dengan penyiksaan terhadap orang-orang yang terluka. Selepas diobati seadanya di rumah sakit, mereka kemudian ditahan tanpa ada proses yang legal. Penangkapan-penangkapan juga berlanjut selepas tragedi tersebut. Baik yang benar-benar ada di lokasi saat kejadian ataupun orang yang tak tahu menahu tentang peristiwa tersebut. Mereka dipaksa untuk mengakui pernyataan palsu. Penyiksaan demi penyiksaan menjadi rmakanan sehari-hari para tahanan. Mereka diperlakukan lebih buruk daripada binatang. Syaiful Hadi salah seorang yang ditahan menceritakan kisah pilu yang mereka alami.

“Dalam tubuh tanpa dibalut pakaian itu, kami disiksa di atas kerikil tajam. Kami dipaksa berguling-guling di atas kerikil itu, sementara tentara memukuli dengan tongkat dan menendangi dengan sepatu lars. Dari mulut mereka terlontar hinaan yang menyakitkan. “Dasar PKI!  Anak gerombolan GPK!” hardik mereka. Kami cuma mampu mengucap, “Allahu Akbar!”  Namun setiap kami mengucap kalimat takbir itu, mereka selalu melontarkan ejekan yang amat menyakitkan hati. “Di sini tidak ada Tuhan,” bentak mereka. Astaghfirullah! Hati seperti berkeping-keping. Sementara tubuh saya dan teman-teman tak henti-hentinya mengeluarkan darah. Darah segar mengucur dari kepala sampai kaki.”[16]

Ada pula kisah yang amat pedih dialami Aminatun, salah seorang tahanan perempuan. Ia mengalami penyiksaan dan pelecehan di tahanan. Aminatun yang ditahan meninggalkan anak-anaknya, kemudian dipaksa menyaksikan kakak dan teman-temannya dipukuli, diestrum dan ditelanjangi di depan dirinya. Ia pun tak lepas dari penyiksaan. Oleh aparat perempuan, jilbabnya dirobek dan ia diancam akan ditelanjangi. Ia pun dilain kesempatan akhirnya ditelanjangi oleh dua aparat perempuan. Ia dipaksa untuk mengakui terlibat pengajian di Tanjung Priok.[17]

Puluhan orang ditangkap dan siksa aparat selama berbulan-bulan hingga bertahun-tahun. Orang-orang yang wafat menjadi korban tak pernah jelas dimana mereka dikuburkan? Banyak keluarga, ayah, ibu, anak mencari anggota keluarga mereka. Tak pernah ada kejelasan. Nasib keluarga mereka. Bahkan ada yang dianggap telah meninggal, namun ternyata kembali lagi, dengan cedera akibat penyiksaan sekian lama.[18]

Penangkapan dan penyiksaan tak hanya menyeret orang-orang kecil yang ikut dalam demonstrasi kala itu atau korban salah tangkap, tetapi juga menyeret para mubaligh dan aktivis Islam. AM Fatwa, penandatangan Lembar Putih turut ditangkap dan divonis berat begitu pula Letjen HR Dharsono, Salim Kadir, Prof. Oesmany Al Hamidi yang sudah sepuh dan Abdul Qadir Djaelani. Mereka rata-rata menerima vonis 18 hingga 20 tahun. Mereka dianggap sebagai dalang dan provokator peristiwa Tanjung Priok. Peradilan yang mereka jalani pun peradilan ‘sesat’ di bawah kendali oleh pemerintah.[19]

Peristiwa Tanjung Priok memang menjadi palu godam untuk menghantam umat Islam yang kritis terhadap pemerintah Orde Baru. Upaya pemerintah yang terutama hendak memaksakan Pancasila sebagai asas tunggal menimbulkan reaksi keras dari umat Islam. Peristiwa Tanjung Priok benar-benar memukul umat Islam. Setelah peristiwa ini, penerapan Pancasila sebagai asas tunggal tak lagi menemui kendala berarti. Namun bagi yang memperhatikan peristiwa ini dengan seksama, pasti akan mencium bau busuk operasi intelejen dalam peristiwa Tanjung Priok. Berbagai faktor mencurigakan, misalnya insiden provokasi oleh Babinsa di mushola As-Sa’adah. Lalu aparat juga condong mendiamkan warga yang tersulut emosinya. Ceramah-ceramah di wilayah itu memang semakin memanas menjelang tanggal 12 September 1984.[20]

Tokoh umat Islam, Muhammad Natsir, sudah mengingatkan para da’i dari Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII) untuk tidak melakukan khotbah di daerah Tanjung Priok karena situasinya semakin mencurigakan.[21]

Ceramah-ceramah menolak asas tunggal memang semakin keras bergema di sana. Mustahil aparat tidak mengetahui hal ini. Bukan kebiasaan aparat di rezim Orde Baru untuk mendiamkan ceramah-ceramah yang kritis terhadap pemerintah.

Kecurigaan lain juga muncul melihat kesiapan aparat ketika menghadang massa demonstran. Aparat yang belasan orang, dihadapkan pada massa yang berjumlah setidaknya 1.500 orang. Reaksi aparat yang membabi buta menghujani massa yang tertib dengan tembakan juga amat tidak wajar. Turut menjadi pertanyaan adalah, mengapa lampu-lampu kala itu dipadamkan secara total dengan mematikan aliran listrik dari PLN secara tiba-tiba dan serentak?[22] Massa dalam kegelapan tentu saja lebih mudah dikacaukan dan hinggapi rasa panik serta ketidakjelasan melihat peristiwa..Namun yang paling menimbulkan kecurigaan adalah berkumpulnya aparat (tentara) di Tempat Pemakaman Umum (TPU) Mengkok Sukapura Cilincing, pukul 21.00, hanya beberapa jam sebelum kejadian pukul 23.00. Aparat terlihat mengamankan lokasi pemakaman umum tersebut. Kelak, para korban dimakamkan di TPU tersebut, beberapa jam setelah kejadian tanpa diketahui keluarga korban. Fakta ini baru diketahui setelah para korban yang menjadi aktivis untuk menuntut keadilan peristiwa Tanjung Priok, menggali makam di sana dan menemukan tulang belulang korban pada tahun 1998.[23]

Tak pelak, nama Panglima ABRI Jenderal L.B. Moerdani dan Pangdam Jaya kala itu, MayJen Try Sutrisno acapkali disebut sebagai pihak yang bertanggung jawab dibalik peristiwa tragis Tanjung Priok.[24] Terutama kepada Benny Moerdani yang tindak tanduknya menunjukkan penentangannya kepada umat Islam. Bukan barang baru, tekanan terhadap umat Islam disalurkan lewat operasi-operasi intelejen semacam isu ‘Komando Jihad’ dan lainnya. Namun hingga kini, tak ada satu pun aparat yang diadili atas peristiwa ini, meski Komnas Ham telah menganggap peristiwa Tanjung Priok sebagai pelanggaran HAM berat.

Bagi umat Islam generasi saat ini setidaknya kita dapat memahami bagaimana perjuangan umat Islam di masa lalu dalam membela kepentingan agamanya, menentang rezim brutal Orde Baru di bawah Soeharto.

“Piye kabare? Isih penak jamanku Tho?” Dor! Dor! Dor!

Oleh: Beggy Rizkiyansyah – Penggiat Jejak Islam untuk Bangsa

===========

[1] Ismail, Faisal. 1995. Islam, Politics and Ideology in Indonesia: A Study of The Process of Muslim Acceptance of The Pancasila. Tesis. Institute Islamic Studies, McGill University.

[2] Hakim, Sudarnoto Abdul. 1993. The Partai Persatuan Pembangunan: The Political Journey of Islam Under Indonesia’s New Order (1973-1987).  Tesis. Institute of Islamic Studies, McGill University.

[3] Jenkins, David. 2010. Soeharto dan Barisan Jenderal Orba: Rezim militer Indonesia 1975-1983. Jakarta: Komunitas Bambu.

[4] KH Saifuddin Zuhri. Isyu “Komando Jihad” dan “Negara Islam” dalam Unsur Politik dalam Da’wa. Al Ma’arif: Bandung, 1982.

[5] Pusat Studi dan Pengembangan Informasi (PSPI). 1998. Tanjung Priok Berdarah Tanggung Jawab Siapa? Kumpulan Fakta dan Data. Jakarta: Gema Insani Press

[6] Ibid

[7] Ibid

[8] Ibid

[9] S.D., Subhan dan Gunawan, F.X. Rudy (ed). 2004. Mereka Bilang Di Sini Tidak Ada Tuhan: Suara Korban Tragedi Priok. Jakarta: Gagas Media dan Kontras.

[10] Ibid

[11] Pusat Studi dan Pengembangan Informasi (PSPI). 1998

[12] Ibid

[13] Ibid

[14] Ibid

[15] Ibid

[16] S.D., Subhan dan Gunawan, F.X. Rudy (ed). 2004.

[17] Ibid

[18] Ibid

[19] Pusat Studi dan Pengembangan Informasi (PSPI). 1998

[20] S.D., Subhan dan Gunawan, F.X. Rudy (ed). 2004.

[21] Fatwa, A.M. 1999. Dari Mimbar ke Penjara: Suara Nurani Pencari Keadilan dan Kebebasan. Bandung: Mizan

[22] S.D., Subhan dan Gunawan, F.X. Rudy (ed). 2004.

[23] Ibid

[24] Pusat Studi dan Pengembangan Informasi (PSPI). 1998

http://jejakislam.net/tragedi-tanjung-priok-1984-musibah-dalam-musibah/

https://m.facebook.com/story.php?story_fbid=10210490171152905&id=1303700840

Mustahil Pak Harto tidak mengetahui operasi militer G30S malam itu

1. Pasukan yg terlibat G30S berasal dari batalyon yg diperbantukan utk Kostrad yakni Yon 454 Diponegoro dan Yon 530 Brawijaya.

2. Pasukan Kostrad dari Yon 454 dan Yon 530 yg menculik para jenderal tiba di Jakarta sktr 27 Sept atas perintah telegram dari Pangkostrad, Mayjen Soeharto. Alasannya utk mengikuti parade baris berbaris pada HUT ABRI tgl 5 Okt 1965. Tapi anehnya Pak Harto memerintahkan mereka utk membawa persenjataan garis pertama siap tempur. Selama 3 hari, kedua batalyon itu turut diinspeksi oleh Pangkostrad. Masak utk baris berbaris musti bawa perlengkapan siap tempur

3. Selama 3 hari di Jakarta, Yon 454 dan 530 berkemah di sekitar lapangan Monas berseberangan dengan istana dan juga markas Kostrad. Mereka pun hilir mudik ke Kostrad utk pinjam toilet.

4. Tengah malam, tgl 30 Sept Soeharto dikunjungi kolonel Latief di RSPAD utk memberitahu bahwa malam ini G30S akan bergerak mengambil para jenderal yg tidak loyak pada Bung Karno.
Soeharto cuma tersenyum.
Aneh juga bahwa Soeharto sbg salah seorang Pangkostrad yg secara tradisi menggantikan Menpangad A. Yani jika berhalangan tidak dijadikan sasaran penculikan

5. Dalam persidangan terungkap bhw Sjam meminta pasukan kpd Letkol Untung utk menjalankan operasi.
Letkol Untung kemudian menyediakan Yon 454 dan 530 yg dipanggil langsung dari Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Ternyata Letkol Untung pernah menjadi Komandan Batalyon 454 Diponegoro di bawah pimpinan Soeharto sbg pangdam Diponegoro. Untung adalah bawahan Soeharto langsung saat operasi Trikora membebaskan irian barat.

6. Saat semua orang kebingungan akibat penculikan para jenderal, Soeharto dengan begitu mudahnya dapat menguasai keadaan seolah-olah semua sudah berada di bawah kendali dia. Nasution aja sbg Menhankam masih kebingunan situasi yg terjadi. Demikian juga Soekarno dan para jenderal2 lain. Soeharto ternyata jauh lebih menguasai situasi.

7. Di penjara, Letkol Untung bercerita kpd rekannya bahwa dia yakin akan dibebaskan krn Soeharto mengetahui operasi itu sebelumnya. Demikian juga Latief menyampaikan bhw dia telah melaporkan ke Soeharto rencana ini pas tengah malam.

8. Ada koneksi Kodam Diponegoro dalam kejadian G30S.
Para tokoh kunci dlm G30S kebanyakan adalah orang-orang yg pernah berasal dari Kodam Diponegoro. Untung dan Latief keduanya adalah anak buah Soeharto di Kodam Diponegoro.
Yon 454 juga dari Diponegoro.
Brigjend Supardjo meski berasal dari kesatuan Siliwangi, tapi beliau juga adalah anak buah Soeharto di operasi Dwikora. Soeharto sbg Panglima Mandala Siaga, Supardjo sbg panglima tempur IV komando Mandala. Soeharto dan Supardjo juga berteman baik, keduanya sama-sama dari jawa tengah dan Soeharto jauh-jauh datang ke pernikahan Supardjo di kebumen, Jawa Tengah.

Koneksi Kodam Diponegoro juga terlibat bukan cuma dlm penculikan di Jakarta.. tetapi juga penculikan di Yogyakarta pada hari yg bersamaan, 1 Oktober.l 1965. Kolonel Katamso dan Letkol Sugiono dari korem 072/Pamungkas yg berada di bawah Kodam Diponegoro diculik dan dibunuh oleh anak buahnya.

9. Lucu bin Aneh, Yon-454 dan Yon-530 yg menculik dan membunuh para jenderal dlm G30S akhirnya yg turut menumpas G30S dan membantai PKI dan kelompok Soekarnois.

Saya yakin bahwa PKI memang turut terlibat dalam G30S, tetapi mustahil Soeharto tidak mengetahui operasi malam itu.

Entah apa yg sesungguhnya apa yg terjadi 1 Oktober 1965 itu, cuma mereka dan Tuhan yg tahu.

Jakarta 2017

https://m.facebook.com/story.php?story_fbid=1404783422923950&id=100001769188641