Oleh: Mohammad Monib
Sore ini saya naik taxi. Supir taxi-nya berkisah. Bahwa di TPS 230 Cengkareng Ahok menang dengan suara beda yang cukup besar dari pasangan lainnya. Itu kisah biasa.
Yang luar biasa adalah ia berkisah bahwa, dulu saat Pilgub yang lalu, ia memilih Jokowi dan Ahok. Mereka menang. Ia senang. Tapi rasa senangnya tidak berlangsung lama. Ketika Ahok naik jadi Gubernur menggantikan Jokowi, ia kena PHK. Gara-gara Ahok.
Ia melanjutkan, selama 12 tahun ia bekerja sebagai supir perusahaan distributor Minuman Keras. Perusahaan tempat ia bekerja terpaksa gulung tikar akibat kebijakan Ahok yang mempersempit gerak peredaran minuman keras. Sehingga banyak tempat-tempat yang biasa ia 'drop-kan' minuman tutup.
Ia kecewa dengan Ahok. Karena bebannya menghidupi keluarga dengan dua anak yang sedang bersekolah, menjadi sangat berat, tanpa pekerjaan. Apalagi ia sudah sempat membeli rumah dengan menyicil.
Tetapi, sekarang, ia mengaku menyoblos Ahok Djarot di Pilkada DKI. Saya bingung. Sekaligus penasaran. Kenapa?
Setelah di PHK ia kemudian akhirnya bekerja menjadi supir taxi. Ia mengaku pendapatannya lebih baik dari perusahaan sebelumnya. Kesehatan ia dan keluarganya terjamin. Ia juga melihat hasil dan bukti dari kerja Ahok. Jalanan perumahan lebih bersih dan lebar, banjir jadi berkurang, Jakarta terlihat lebih bersih.
Dulu saat hujan, ia nyaris tidak bisa kemana-mana. Boro-boro narik taxi a.k.a nganter penumpang, untuk balik ke rumah atau ke pool taxi aja ia sulit. Gara-gara banjir dimana-mana. Sekarang ia merasakan perubahannya. Ia bisa narik saat hujan. Jalanan yang mulai berkurang titik dan durasi banjirnya membuat ia bisa leluasa mengantar penumpang. Malah pendapatannya jadi lebih besar kala hujan.
Saya bertanya. Kalau cuma itu alasannya, apa cukup membuatnya melupakan 'dosa' Ahok yang membuatnya dipecat dari pekerjaan.
Ia menjawab. Justru karena Pak Ahok ia kena PHK. Dan karena ia di PHK, ia mendapat pekerjaan sebagai supir taxi. Benar waktu awal ia kecewa, tetapi sekarang ia percaya, Pak Ahok membuatnya 'terlepas dari rasa bersalah' menjadi supir mobil distributor Minuman Keras yang sebenarnya bertentangan dengan hati nuraninya. Pak Ahok --menurut ia-- telah membebaskannya dari 'dosa'.
Dan katanya, kita sih ga lihat agamanya. Buktinya Pak Ahok membuat saya merasa demikian. Saya orang kecil, ga ikut politik-politikan. Yang saya lihat ada hasil kerjanya, itu yang saya pilih. Makanya tadi saya pilih Pak Ahok lagi. Saya mau kasih Pak Ahok kesempatan bekerja. Ngapain saya kasih ke orang yang saya ga tau kerjanya kayak apa.
Saya terdiam. Sejenak. Lalu jadi berapi-api. Memuji pandangannya. Mengagumi pemahamannya. Lalu sebelum turun berkata : "Bapak jauh lebih hebat dibandingkan dengan orang-orang besar yang merasa dirinya pintar."
Saya tiba. Argo taxi menunjuk angka 92 ribu. Saya membayar lebih. Lalu turun. Ia mungkin kaget. Tapi saya merasa perlu 'membayar' untuk 'kuliah' 20 menit tentang 'bagaimana melihat secercah terang di dalam gulita pergulatan hidup'. Bahwa seharusnya kita tidak mudah menyalahkan orang lain atas apa yang terjadi pada diri kita. Bisa jadi, itu justru titik balik hidup kita.
Terima kasih Pak Suparjo. Sampai bertemu di Putaran Ke - 2.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar