Kamis, 26 Januari 2017

PKI dan Kesalahan Jokowi

Saya tidak memilih Jokowi saat Pilpres 2014 lalu. Kukira semua tentangnya palsu, hanya polesan, sekadar pencitraan. Saat itu saya tidak percaya, seorang yang dari Solo tiba-tiba berhadapan dengan Prabowo yang mantan jenderal.

Dua tahun berlalu, dan Jokowi masih rajin blusukan dan masih dilabeli pencitraan. Seorang teman berkomentar, "masa sih selama dua tahun ini Jokowi pencitraan terus, apa nggak capek-capek, yah...?"

Selain kuatir dengan pencitraan yang disetting media, saya juga termakan isu neolib dan naga. Kecuali, tentang PKI yang saya memang tak pernah lagi menghiraukannya. Saat itu, saya menimbang lebih baik memilih mantan jenderal yang punya reputasi buruk soal HAM ketimbang memilih antek neolib yang berwajah lugu.

Anaknya yang mandiri, belanjanya ke loakan, memegang payung sendiri, sepatunya yang home industri, dan memakai sarung saat kunjungan resmi, mungkin masih disebut pencitraan oleh kaum Salawi (semua salah Jokowi), tapi semua itu jelas telah menyentuh sisi terdalam jiwa, tentang sosok presiden yang berusaha tampil apa adanya, tak berjarak dengan rakyatnya, namun tetap memiliki catatan apik dalam laporan tahunan Bloomberg.

"Tapi, buat apa dekat dengan rakyat kalau akhirnya, harga BBM, biaya STNK dan TDL dinaikkan juga, plus pemadaman bergilir, lagi...?" Kata teman melanjutkan opininya.

Yang saya baca, BBM memang naik, kecuali yang subsidi. Jadi, sasarannya adalah mereka yang berduit, setidaknya yang masih punya biaya lebih untuk kuota bulanan nangkring di Facebook dan YouTube.

Kalau skemanya seperti itu, ya wajar saja, kan? Bukankah sekarang UMP sudah di atas 2 juta? Artinya, para pekerja harusnya tak terpengaruh dengan kenaikan itu.

Lalu, kenaikan cabe. Lah, ini soal rasa bung... Kalau anda berduit, jangankan cabe yang pedas, secangkir kopi Starbucks yang segocap tak perlu ditawar. Tapi, kalau makannya sekilo sehari, emang pedes sih.

Dan kabar terbarunya, Pertamina akan mengambil alih setidaknya sekitar 10 blok Migas hingga tahun depan. Dan kemarin yang sensasional adalah kini Freeport jadi milik kita, setelah sekian lama nyaris tak tersentuh oleh pemerintah, keren kan?

"Tapi, Jokowi mendukung Ahok, Jokowi antek Aseng, Jokowi tidak islami, membiarkan Syi'ah, mengunjungi Iran dan berjabat tangan dengan Putin, itulah daftar kesalahan besarnya," Temanku yang cakep ini memang rajin membaca portal kaum sumbu pendek.

Kalau anda percaya sesuatu, harusnya anda mendukung kepercayaan itu. Begitulah keyakinan Jokowi. Cina saat ini adalah poros Asia, melewati Jepang, yang sama sekali tak salah jika diajak kerjasama. Iran dan Rusia membuktikan kehebatan mereka dalam memerangi pemberontak di Suriah yang didalangi AS. Jadi, apa yang salah kalau kita ajak mereka berteman.

"Tapi, Jokowi PKI, seenggaknya mungkin saja dia keturunan orang tidak beragama" Kata temanku yang sepertinya menemukan kata pamungkas para Salawi.

Hei bung, anda sudah pelajari ideologi ideologi dunia? Apa tujuan sebenarnya dari ideologi ideologi itu? Dan PKI, kalau anda baca sejarah, mereka itu masuk 4 besar pada pemilu tahun 1955 di bawah PNI, Masyumi dan NU. Mereka populer karena berbasis rakyat tani.

PKI salah karena terlibat kudeta 65? Anda percaya PKI yang berlogo palu arit itu mampu membunuh para jenderal? Atau jangan-jangan Anda juga percaya kalau Soekarno juga dalangi G30S? Anda bisa yakin Bung Karno berencana mengkudeta dirinya sendiri? Mari merenung sebentar, GAM (Gerakan Aceh Merdeka) dan beberapa kelompok separatis lainnya, dapat senjata organik dari mana?

Anda yang waras atau saya kekurangan kopi?

"Tapi, Jokowi pasti salah..." Gumam temanku.

Jokowi memang salah, karena sampai saat ini masih membiarkan kelompok radikal berkeliaran menganggu pembangunan.

Presiden Joko Widodo juga salah, karena lupa mencantumkan gambar foto imam idolamu di lembaran uang kertas baru, hehehe...

Peace...
#RevolusiCabe

#SayNoToCommunist
#SayNoToRacism
#SayNoToRadicalism
#SayNoToTerrorism

https://m.facebook.com/story.php?story_fbid=10209743922333255&id=1186811581

Tidak ada komentar:

Posting Komentar