Minggu, 17 September 2017

UDIN, WARTAWAN YANG DIBUNUH KARENA BERITA

Fuad Muhammad Syafruddin (32) akrab dipanggil Udin. Salah seorang wartawan Surat Kabar Harian (SKH) Bernas terbit di Yogyakarta menjadi tumbal di rezim Orde Baru. Udin 'dihilangkan' karena tulisannya mengusik penguasa kala itu Bupati Bantul Sri Roso Sudarmo, tentara berpangkat kolonel.

Sri Roso dihukum 9 bulan penjara pada 2 Juli 1999. Dia dinyatakan bersalah atas kasus suap Rp 1 miliar kepada Yayasan Dharmais, yayasan yang dikelola Presiden Soeharto. Uang itu dijanjikannya sebagai imbalan bila diangkat kembali sebagai bupati Bantul 1996-2001. Pernyataan itu dituangkan dalam surat bersegel dikirim ke yayasan ditandatangani oleh R Noto Suwito yang tak lain adalah adik Soeharto.

Beberapa tulisan Udin mengkritisi kekuasaan Orde Baru dan militer. Tulisan yang cukup menyengat di antaranya '3 Kolonel Ramaikan Bursa Calon Bupati Bantul', 'Soal Pencalonan Bupati Bantul: banyak 'Invisible Hand' Pengaruhi Pencalonan', 'Di Desa Karangtengah Imogiri, Dana IDT Hanya Diberikan Separo' dan 'Isak Tangis Warnai Pengosongan Parangtritis'.

Pria kelahiran Bantul, 18 Februari 1964 ini meninggal pada 16 Agustus 1996, pukul 16.50 WIB, usai dianiaya oleh orang tak dikenal di sekitar rumahnya di Dusun Gelangan Samalo Jalan Parangtritis Km 13 Yogyakarta, dengan sebatang besi yang dipukulkan ke kepalanya.

Udin sempat mendapatkan perawatan di RS Bethesda. Setelah sempat koma karena gegar otak, akhirnya Udin menghembuskan nafas terakhir di rumah sakit tersebut.

Kasus Udin menjadi ramai ketika Kanit Reserse Umum Polres Bantul Edy Wuryanto yang saat itu berpangkat Sersan Kepala (Serka), di Yogyakarta dilaporkan telah membuang barang bukti, yakni melarung sampel darah dan juga mengambil buku catatan Udin, dengan dalih melakukan penyelidikan dan penyidikan. Edy kemudian hanya dimutasi dari Mapolres Bantul, Yogyakarta ke Mabes Polri.

Ada pihak-pihak tertentu berupaya mengalihkan kasus kematian Udin ini. Tri Sumaryani, seorang perempuan mengaku ditawari sejumlah uang sebagai imbalan jika mau membuat pengakuan bahwa Udin melakukan hubungan gelap dengannya. Kemudian dibunuh oleh suaminya dengan alasan telah terjadinya perselingkuhan.

Lalu, Dwi Sumaji alias Iwik, seorang sopir perusahaan iklan, juga mengaku dikorbankan oleh polisi untuk membuat pengakuan bahwa ia telah membunuh Udin. Iwik dipaksa meminum bir berbotol-botol dan kemudian ditawari uang, pekerjaan, dan seorang pelacur. Namun di pengadilan, pada 5 Agustus 1997, Iwik mengatakan bahwa dirinya dikorbankan untuk bisnis politik dan melindungi mafia politik.

Tak hanya itu, sebelum meninggal, banyak juga kejadian yang aneh dan ganjil yang terjadi terkait kematian Udin. Sekitar pukul 21.00 WIB, di kantor harian Bernas, Udin menemui seorang tamu yang sebelumnya ingin menemui Joko Mulyono, wartawan Bernas untuk liputan Bantul. Lelaki tersebut mengaku sebagai Kaur Pemerintahan Desa Wirokerten Bantul dan kedatangannya untuk urusan tanah.

Namun, setelah pertemuan singkat itu Udin terlihat gelisah di kantor. Pukul 21.30 WIB, selesai menulis berita, Udin bergegas pulang ke Bantul dengan Honda Tiger 2000 warna merah hati. Belakangan orang yang ditemui Udin tersebut adalah Hatta Sunanto (anggota DPRD Bantul dan adik Sukrisno, Kaur Pemerintahan Desa Wirokerten Bantul), serta ditemani seorang calo tanah bernama Suwandi.

Salah satu tetangga Udin yang berada di warung bakmi yakni Ny Ponikem sering melihat beberapa laki-laki yang dicurigai mendatangi rumah Udin. Hingga akhirnya, malam tragedi meninggalnya Udin pun terjadi. Udin dianiaya lelaki tak dikenal di sekitar rumahnya Jalan Parangtritis Km 13,5 Bantul hingga luka parah dan tak sadarkan diri.

Udin lalu dilarikan ke RSU Jebugan Bantul, karena tak mampu, Udin terus dilarikan ke RS Bethesda Yogyakarta. Kemudian, Rabu 14 Agustus 1996 sekitar pukul 08.00 WIB di RS Bethesda Yogyakarta, Udin menjalani operasi karena terjadi pendarahan hebat di kepalanya akibat penganiayaan hebat yang dialami Udin malam sebelumnya.

Hingga akhirnya, tim medis RS Bethesda Yogyakarta pada Jumat 16 Agustus pukul 16.58 WIB, menyatakan Udin meninggal dunia setelah tiga hari berjuang melawan maut tanpa pernah sadarkan diri. Malamnya, sekitar pukul 23.30 WIB, jenazah Udin disemayamkan sebentar di kantor Harian Bernas untuk mendapatkan penghormatan terakhir dari rekan-rekannya.

Jenazah Udin dilepas dan dimakamkan di tempat pemakaman umum Trirenggo Bantul tepat pada tanggal 17 Agustus, saat bangsa Indonesia merayakan peringatan hari ulang tahun ke-51 kemerdekaan Republik Indonesia. Beberapa pejabat, di antaranya Sri Sultan Hamengkubuwono X, Pangdam IV Diponegoro, Kapolda Jateng-DIY dan sejumlah pejabat pemerintahan meminta agar kasus Udin diusut tuntas. Siapapun terlibat dalam kasus harus diproses secara hukum.

Namun, apa yang terjadi? Upaya pengaburan kasus pembunuhan Udin pun oleh berbagai pihak terjadi. Sekitar pukul 20.00 WIB, tepatnya pada tanggal 19 Agustus 1996, Serma Edy Wuryanto ditemani dua anggota Polres Bantul berangkat dari Mapolres Bantul ke kediaman orangtua Udin di Gedongan Trirenggo Bantul. Mereka bermaksud meminjam sisa darah operasi Udin yang tidak jadi ikut dikubur bersama jenazah Udin.

Serma Edy Wuryanto mengatakan darah itu akan dipakai untuk kepentingan pengusutan dengan cara supranatural (dilarung ke laut selatan). Siang sebelumnya, di tengah-tengah pawai pembangunan dalam rangka peringatan HUT ke-51 Kemerdekaan RI di kabupaten Bantul, sejumlah warga Bantul turut menggelar pawai duka cita sambil menggelar spanduk dan mengarak foto Udin.

Kemudian yang mencurigakan, sepekan kemudian sekitar 23 Agustus 1996, Bupati Bantul Kolonel Art Sri Roso Sudarmo menggelar jumpa pers di kantor Pemkab Bantul, menyatakan bahwa dirinya sama sekali tidak terlibat dalam kasus terbunuhnya Udin.

Selain itu, Kapolres Bantul saat itu Letkol Pol Ade Subardan mengatakan tidak ada dalang dalam kasus Udin meski tersangka belum tertangkap. Kapolres Bantul juga sesumbar akan menangkap pelaku pembunuh Udin dalam waktu tiga hari usai konferensi pers berlangsung sambil mengatakan biar Bupati Bantul tidur nyenyak.

Pada 26 Agustus 1996 sekitar pukul 09.00 WIB, Tempat Kejadian Perkara (TKP) di rumah Udin baru diberi police line setelah 13 hari usai kejadian pembunuhan Udin berlalu. Kemudian, Kepala Staf Sosial Politik (Kassospol) ABRI Letjen TNI Syarwan Hamid saat itu di Jakarta menegaskan, oknum ABRI yang terlibat dalam kasus Udin akan ditindak tegas.

Namun, anehnya, usai pernyataan Syarwan Hamid muncul, sekitar pukul 10.30 WIB, police line di TKP rumah Udin dicopot kembali oleh polisi. Sehingga police line ini yang dipasang hanya selama 25 jam usai dipasang untuk kepentingan penyidikan.

Kapolda Jateng-DIY Mayjen Pol Harimas AS pada 2 September 1996, menyatakan pihak kepolisian sudah memiliki identitas lengkap pelaku kasus pembunuhan Udin. Disusul sehari kemudian, Mantan Mendagri Jenderal TNI (purn) Rudini mengatakan, sebaiknya Gubernur DIY Sri Paduka Paku Alam VIII memanggil dan meminta keterangan Bupati Bantul Sri Roso Sudarmo.

Kasus kematian Udin yang disebut-sebut menjadi tumbal kepentingan politik dan tentara itu sampai saat ini tidak pernah terkuak. Carut marut lembaga hukum yang telah dipimpin oleh 16 Kapolda di Yogyakarta tak mampu memecahkan kasus terbunuhnya pekerja pers itu. Bahkan, lembaga peradilan sampai saat ini tak mampu menjadikan kasus terbunuhnya Udin menjadi terang benerang. (Merdeka)

https://m.facebook.com/story.php?story_fbid=10210276960185997&id=1400693010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar