Senin, 18 September 2017

Tahun 1994, terjadi genosida di Rwanda, sebuah negara di Afrika.

Diperkirakan lebih dari satu juta orang tewas dalam beberapa bulan, akibat kebencian. Peristiwa Rwanda dipicu oleh kebencian yang terus menerus ditiupkan untuk membangkitkan kebanggaan suku Hutu terhadap suku Tutsi.

Pada masa itu sangat sulit menjadi suku Tutsi karena mereka dicari dan diburu oleh suku Hutu. Genosida itu akhirnya dihentikan sesudah Front Patriotik Rwanda masuk dan menghentikan genosida. FPR dipimpin oleh Paul Kagame - yang notabene dari suku Tutsi - yang sekarang masih menjadi Presiden Rwanda.

Tahun 2014, Rwanda memperingati 20 tahun genosida itu. Menarik bahwa Rwanda tidak pernah mempermasalahkan "siapa yang benar dan siapa yang salah" pada waktu genosida itu.

Mereka hanya menyesalkan "tragedi kemanusiaannya".

Dan itu menjadi atraksi yang menarik dalam pagelaran mengingat kembali peristiwa 1994, sebagai bagian dari sejarah gelap kemanusiaan di Rwanda. Sejarah gelap ini perlu diingatkan, sebagai pembelajaran untuk menghargai kembali nilai-nilai kemanusiaan di Rwanda, apapun sukunya..

Indonesia pernah mengalami situasi yang mirip dengan Rwanda..

Tahun 1965 - lebih tua dari genosida Rwanda - terjadi genosida di seluruh negeri terhadap mereka yang dituding komunis. Dimana-mana terjadi pembantaian. Sungai dikabarkan pada waktu itu berwarna merah karena darah dan tubuh tanpa kepala mengapung di mana2.

Genosida tahun 1965 juga memakan korban - diperkirakan - sampai sejuta orang. Peristiwa menyakitkan ini adalah sejarah gelap dalam bangsa kita, bahwa kita pernah lupa jika kita ini adalah manusia.

Apa yang berbeda antara Rwanda dan Indonesia ? Yang berbeda ternyata adalah cara menyikapinya.

Rwanda memperingati tragedi 1994 itu dengan tema "kemanusiaan", sedangkan Indonesia masih berkutat di "siapa yang benar dan siapa yang salah".

Itulah kenapa kita sulit menjadi negeri maju, karena jari sibuk menuding sana sini. Ada kelompok yang sibuk ingin "meluruskan sejarah siapa dalang pembantaian PKI" dan ada kelompok lain yang "paranoid PKI".

Kedua kubu ini sama-sama ekstrim, tanpa pernah berusaha melihat sisi lain yaitu tragedi kemanusiaannya. Kita sibuk #save tragedi kemanusiaan di negeri lain, tapi tidak sibuk #save tragedi kemanusiaan di negeri sendiri..

Mungkin Presiden Joko Widodo bisa memulai hal ini, memperingati tragedi 1965 dari sisi kemanusiaannya, bukan dari siapa yang benar dan siapa yang salah. Kita bersatu untuk "tidak lagi mengulang hal yang sama". Bahwa nilai kemanusiaan jauh lebih tinggi dari apapun di dunia..

Indonesia itu negara besar di Asia Tenggara, masak kalah dewasa dengan negara kecil di Afrika seperti Rwanda ?

Malu dong ah... Seruputtt..

www.dennysiregar.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar