Jumat, 22 September 2017

Melawan Lupa : Ketika DI/TII Membelah Perut Perempuan Hamil


.
” Bumi ieu anu nyaksi getih suci nyiram bumi lima puluh hiji jalmi rampak lastari."
Artinya kira-kira “tanah ini menjadi saksi, darah suci menyiram tanah dari 51 warga yang mati dibantai.”

Demikian tertulis di monumen yang tampak sudah lusuh dan dibuat secara sederhana tergolek di bawah tiang bendera di depan sebuah rumah, di kampung terpencil, Kampung Buligir, Desa Parentas, Kecamatan Cigalontang, Kabupaten Tasikmalaya.

Monumen itu menuliskan kekejaman gerombolan DI/TII yang telah membantai 51 warga Buligir.Dalam monumen itu juga disebutkan bahwa aksi pembantaian terjadi persis malam sebelum peringatan Hari Kemerdekaan Republik Indonesia ke-16 pada tahun 1961.

Seorang warga Buligir yang menjadi saksi hidup aksi pembantaian gerombolan DI/TII itu, Warmun (63),  menuturkan, peristiwa berdarah itu terjadi sekitar pukul 23.00, pada saat sebagian besar warga sudah berada di rumah masing-masing.

Malam itu, sebelumnya warga masih ramai dan sibuk persiapan menyambut HUT RI ke-16.

"Karena malam mulai larut, warga pun pulang ke rumah masing-masing setelah gotong royong mengerjakan berbagai persiapan menyambut HUT RI keesokan harinya. Saya sendiri saat itu mulai terlelap. Tapi tiba-tiba dibangunkan ayah saya karena katanya ada serangan gerombolan," tutur Warmun.

Suasana riang penuh canda yang sebelumnya mewarnai warga, kata Warmun, tiba-tiba berubah menjadi pekik memilukan. Gerombolan DI/TII, yang datang dari perbukitan di selatan kampung, langsung menyergap perkampungan, dengan cara membakar rumah dan membantai siapa saja yang mereka temui.

"Saya sempat melihat kebiadaban itu. Ada ibu-ibu yang sudah hamil tua ditembak hingga mati, lalu perutnya disayat dan bayinya dikeluarkan. Salah seorang paman saya menjadi korban. Tubuhnya sampai diiris-iris dengan menggunakan parang," kata Warmun.

Pembantaian terjadi setelah gerombolan membumihanguskan hampir semua rumah dan mulai mencari tempat persembunyian warga. Malam itu sebagian besar warga bersembunyi dengan cara tiarap di bawah rimbunan tanaman padi di sawah. Sisanya, termasuk Warmun dan keluarga, lari menyelamatkan diri ke hutan.

"Yang lari dan bersembunyi di sawah itulah yang dibantai gerombolan. Mungkin karena ada jejak kaki sehingga tempat persembunyian itu diketahui mereka. Kami mengetahui banyak korban bergelimpangan di sawah setelah kembali ke kampung dan situasi mulai aman," kenang Warmun.

Sebenarnya, kata Warmun, di Kampung Buligir saat itu ada sepasukan TNI. Tapi karena jumlahnya tidak seimbang, gerombolan masih bisa leluasa melakukan aksi pembunuhan massal itu.

"Tapi akhirnya dengan susah payah TNI bisa menghalau gerombolan melalui pertempuran cukup sengit. Tiga tentara turut jadi korban dalam peristiwa itu," katanya.

*dikutip dari arsip Tribun.com
Awan Kurniawan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar