1. Being Me by SleepCinema
Apa kau tahu betapa sulitnya menjadi diriku? Setiap bulan aku selalu dipaksa untuk mengubah kepribadianku. Segera setelah aku merasa nyaman dengan siapa aku sebenarnya, tiba-tiba aku dipaksa menjadi orang lain. Satu saat aku menjadi remaja pemalu yang hendak pergi ke pesta dansa dengan gaun yang mencolok. Namun bulan depannya, aku menjadi gadis sporty dengan pakaian renang yang sexy. Begitu banyak kepribadian hingga aku muak. Aku harap aku hanya perlu menjadi satu saja.
Jadi lain kali, jika kau pergi ke mall dan menganggap apa yang kupakai lucu, unik, dan imut, lalu mencoba mencari pakaian yang sama, ingatlah! Aku mungkin kaku dan tak pernah kau perhatikan serius, namun aku bisa merasa.
Dan aku bisa melihatmu.
=
2. Dinner Time by Orsamus
Aku tak pernah memasak kaki sebelumnya.
Seharusnya rasanya tak jauh beda dengan steak sapi ... atau mungkin berbeda? Mungkin itu tergantung dengan caramu memasak. Masukkan ke dalam oven, tunggu hingga matang, lalu keluarkan. Ovennya menggunakan gas dan aku sudah sangat berhemat menggunakannya selama dua minggu terakhir. Baru kali ini aku menggunakannya untuk memasak. Biasanya gas kugunakan untuk menghangatkan kabin ini ketika hawa dingin merasuk masuk melalui bagian bawah pintu dan melewati retakan-retakan kayu di jendela.
Tubuhku menggigil ketika rasa dingin merayapiku hingga ke tulang belakang. Aku mendekatkan tubuhku ke oven hanya untuk kecipratan sedikit rasa hangatnya. Rasa lapar ini mulai tak tertahankan. Aku harap dagingnya segera matang.
Aku sebenarnya tak mau membuang-buang gas yang begitu berharga ini untuk memasak, namun aku tak mau sakit gara-gara memakan daging mentah. Suara itu terdengar lagi dan bayangan tampak bergerak di bawah pintu, bergerak makin cepat dari sebelumnya.
Aku hanya bisa diam dan bersandar di kursiku. Well, bukan kursiku sih sebenarnya, ini juga bukan kabinku.
Dinding kayu kabin itu terus berderak. Mereka sedang mengelilinginya. Aku bisa mendengar erangan mereka. Aku berusaha memasuukan kapas ke dalam telingaku, namun aku masih bisa mendengar mereka.
Mereka masih di luar.
Sepertinya sudah matang. Aku membuka oven dan suara mereka makin keras. Mungkin mereka mencium baunya.
Aku dengan ragu menatap ke sekitarku sebelum memakannya. Empat sisi dinding, enam jendela, dan papan-papan kayu yang kutancapkan untuk menutupinya. Aku berusaha menutupnya serapat mungkin, namun bayangan mereka kadang masih berhasil menyusup masuk.
Bau masakan itu kembali menusuk hidungku, mengalihkan perhatianku sejenak dari mereka.
“Hmmm ... lezat!” tanpa sadar air liurku menetes ke daguku.
Mereka mengerang di luar. Mereka menggedor dinding dengan keras. Aku tahu mereka menginginkannya juga.
“LAPAR HA? KALIAN MAU?” teriakku mengejek.
Sudah dua minggu aku terjebak di sini dan makanan di sini semakin habis. Aku mengutuk diriku, kaki ini sebaiknya kuhemat. Namun dengan rasa lapar ini aku tak tahu sampai kapan aku bisa bertahan.
Aku menatap ke kakiku yang tersisa dan mulai merinding.
=
3. Keep the Shoebox by ecrowe
Ketika istriku hamil, aku sangat terkejut sekaligus bahagia. Kami baru saja menikah, bahkan belum berencana memiliki anak. Namun segalanya berjalan begitu cepat. Pada minggu ke-20, kami pergi ke rumah sakit untuk memeriksakan kandungannya.
“Aku harap bayi perempuan.” katanya.
“Aku tak keberatan laki-laki atau perempuan. Setiap anak adalah keajaiban.” kataku.
Kami menunggu di kantor dokter untuk melakukan scan.
Sang dokter mengoleskan gel ke atas perut istriku. Ia menekan sensor dan mulai mencari.
“Selamat,” katanya, “Kalian akan memiliki anak laki-laki.”
“Apa kau dengar itu sayang?” kebahagiaanku melupap.
Ia tersenyum balik ke arahku.
Sepulang dari kantor, istriku terdiam. Hari berikutnya, aku mendapat telepon dari istriku saat sedang berada di kantor.
“A ... ada yang salah dengan kandunganku ... kumohon, cepatlah pulang ...”
Aku segera meminta izin pada bosku dan bergegas pulang.
Ketika aku tiba, aku segera berteriak mencarinya. Ada jejak darah di lantai, menuju ke toilet. Akupun mencarinya dan melihat istriku di depan kloset, muntah-muntah.
“Maafkan aku, Sayang ...” ia menangis, “Maafkan aku ...
Aku segera sadar apa yang telah terjadi.
“Bayinya keguguran ...”
Akupun duduk di sampingnya dan ikut menangis bersamanya.
***
Semenjak saat itu aku berusaha menghiburnya. Ia tampak sedih, namun aku terus mengatakan bahwa ini bukan kesalahannya.
“Apa ada yang bisa kulakukan untuk menghiburmu?” tanyaku.
"Apa boleh aku minta sepatu baru?”
“Sepatu baru?” aku keheranan.
“Ya, sepatu baru selalu membuatku gembira. Kau ingat sepatu yang kuinginkan terakhir kali kita berjalan-jalan di mall?”
Aku mengangguk dan segera membelikannya untuk istriku.
“Sepatu ini amat cantik.” akhirnya ia terlihat bahagia. “Apa kau bisa menaruhnya di rak?”
“Tentu, tapi apa kau tak mau mencobanya dulu?”
“Tidak sekarang. Aku sedang tak enak badan.”
Aku membuka lemari. Koleksi sepatunya sudah memenuhi rak. Aku menaruh sepatu baru itu di rak paling bawah.
“Bagaimana dengan kotak sepatunya?’ tanyaku, “Apa harus kubuang?”
“Jangan! Tolong simpan saja!”
“Oke!” aku meninggalkan ruangan dan menuju ke gudang untuk menyimpan kotak sepatu itu. Aku melihat tumpukan kotak sepatu dan segera menaruhnya di atas. Namun sesuatu menarik perhatianku. Aku mengamati kotak itu. Masing-masing dilabeli degan spidol dengan nama dan tanggal di atasnya.
Adam 12/01/16. John 03/05/15. Mike ...
Semuanya adalah nama laki-laki. Dengan gugup aku mengangkat salah satu.
Berat.
Bahkan tanpa membukanya, aku sudah tahu apa isinya.
Aku rasa dia benar-benar menginginkan anak perempuan.
===
Source : mengakubackpacker2nd.blogspot.co.id
===
Tidak ada komentar:
Posting Komentar