Beberapa waktu lalu, sebagian dari saudara-saudara kita se-bangsa dan se-tanah air merayakan hari raya Imlek (Tahun baru Lunar). Walaupun saya bukan berasal dari etnis Tionghoa, namun saya pun larut dalam perayaan itu. Hal ini dikarenakan oleh kebiasaan kami saat masih tinggal di Papua.
Di Papua, perayaan Imlek sangat samai, bahkan jauh lebih ramai dari pada perayaan Imlek di Jakarta. Mengapa? Karena di kota-kota di Papua yang ukurannya jauh lebih kecil dari pada Jakarta, Imlek dirayakan diseluruh penjuru kota oleh warga etnis Tionghoa yang juga ikut diramaikan oleh warga non-Tionghoa, bahkan masyarakat pribumi Papua sehingga kesannya jauh lebih ramai dari pada kota-kota besar di Jawa.
Saya selalu tertarik mempelajari sejarah Tiongkok kuno, sehingga lama-kelamaan saya pun menjadi tertarik untuk mengetahui bagaimana orang-orang Tionghoa bisa sampai ke Indonesia. Banyak sekali versi mengenai hal itu yang selalu menarik untuk disimak.
Banyak sekali cerita mereka yang membuat saya tergakum-kagum, dan kekaguman saya semakin bertambah setelah mengetahui bahwa rupanya banyak sekali masyarakat Tionghoa yang turut berjuang bagi Indonesia untuk melepaskan diri dari penjajahan bangsa asing dan juga perjuangan mereka dalam mengisi kemerdekaan Indonesia diawal-awal republik ini berdiri sebagai negara yang berdaulat.
Inilah beberapa tokoh Tionghoa dan perjuangan mereka :
1. Soe Hok Gie
Soe Hok Gie pantas ditempatkan pada urutan atas dalam daftar tokoh-tokoh Tionghoa dalam sejarah perjuangan Indonesia. Soe Hok Gie dilahirkan di Jakarta, pada tanggal 17 Desember1942. Ia adalah seorang aktivis yang menentang kediktatoran Presiden Soekarno dan Soeharto. Ia warga Tionghoa yang beragama Katolik Roma. Leluhur Soe Hok Gie berasal dari provinsi Hainan, Republik Rakyat Tiongkok.
Ayahnya bernama Soe Lie Piet alias Salam Sutrawan. Soe Hok Gie anak keempat dari lima bersaudara di keluarganya. Kakaknya Arief Budiman yang seorang sosiolog dan dosen di Universitas Kristen Satya Wacana, juga cukup kritis dan vokal dalam politik Indonesia. Setelah tamat dari SMA Kolese Kanisius, Soe Hok Gie kuliah di Universitas Indonesia (1962-1969). Setelah menyelesaikan tamat, ia menjadi dosen di almamaternya hingga kematiannya.
Soe Hok Gie merupakan pejuang melalui kata-kata, pemikiran, dan tulisannya. Selama menjadi mahasiswa ia aktif memprotes Presiden Sukarno dan PKI. Ia juga seorang penulis yang produktif, dengan berbagai artikel yang dipublikasikan di koran-koran seperti Kompas, Harian Kami, Sinar Harapan, Mahasiswa Indonesia, dan Indonesia Raya.
Sekitar 35 karya artikelnya (kira-kira sepertiga dari seluruh karyanya) selama rentang waktu tiga tahun Orde Baru, sudah dibukukan dan diterbitkan dengan judulZaman Peralihan (Bentang, 1995). Juga skripsi sarjana mudanya perihal Sarekat Islam Semarang, diterbitkan Yayasan Bentang tahun 1999 dengan judul Di Bawah Lentera Merah. Sebelumnya, skripsi S1-nya yang mengulas soal pemberontakan PKI diMadiun, juga sudah dibukukan dengan judul Orang-orang di Persimpangan Kiri Jalan.
Buku hariannya diterbitkan pada tahun 1983, dengan judul Catatan Seorang Demonstran yang berisi opini dan pengalamannya terhadap aksi demokrasi. Soe Hok Gie dalam tesis universitas-nya juga diterbitkan, dengan judul Di Bawah Lantera Merah. Soe Hok Gie juga merupakan subyek dari sebuah buku 1997, yang ditulis oleh Dr John Maxwell yang berjudul Soe Hok Gie : Diary of a Young Indonesian Intellectual.
Buku itu diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia pada tahun 2001, dan berjudul Soe Hok Gie: Pergulatan Intelektual Muda Melawan Tirani.
Pada tahun 1965, Soe Hok Gie membantu mendirikan Mapala UI, organisasi lingkungan di kalangan mahasiswa. Dia menikmati kegiatan hiking. Hobinya ini justru menghantarkannya pada kematiannya karena menghirup gas beracun saat mendaki gunungSemeru. Soe Hok Gie meninggal di Gunung Semeru pada tanggal 16 Desember 1969, satu hari sebelum ulang tahun ke 27.
Dia meninggal bersama rekannya, Idhan Dhanvantari Lubis, dan dimakamkan di Museum Taman Prasasti di Jakarta Pusat.
Soe pernah menulis dalam buku hariannya:
“Seorang filsuf Yunani pernah menulis … nasib terbaik adalah tidak dilahirkan, yang kedua dilahirkan tapi mati muda, dan yang tersial adalah umur tua. Rasa-rasanya memang begitu. Bahagialah mereka yang mati muda.”
Aktor yang memerankan Soe Hok Gie
Buku harian Soe Hok Gie menjadi inspirasi untuk film yang berjudul Gie (2005), yang disutradarai oleh Riri Riza. Soe Hok Gie diperankan dengan sangat baik oleh aktor fenomenal, Nicholas Saputra. Film ini menjadi salah satu film box office di Indonesia pada tahun 2005 dan menghantarkan Nicholas Saputra meraih Piala Citra sebagai aktor terbaik.
Film ini juga meraih piala Citra untuk kategori Film Bioskop Terbaik dan Pengarah Sinematografi Terbaik, dan dinominasikan 8 kategori lainnya, juga dinominasikan dan meraih beberapa penghargaan di luar negeri. Film Gie juga termasuk dalam salah satu film Indonesia terbaik sepanjang masa. Film ini juga masuk dalam 50 besar Best Foreign Language Film yang dinominasikan di 78th Academy Award (Oscar).
2.John Lie
Laksamana Muda TNI (Purn) John Lie Tjeng Tjoan, atau yang lebih dikenal sebagai Jahja Daniel Dharma dilahirkan di Manado,Sulawesi Utara, 9 Maret1911. Ia lahir dari pasangan suami isteri Lie Kae Tae dan Oei Tjeng Nie Nio. John Lie adalah salah seorang perwira tinggi di TNI Angkatan Laut dari etnis Tionghoa dan merupakan salah satu Pahlawan Nasional Indonesia. Ia dikenal dengan julukan “A Soldier with Bible”, karena dia selalu membawa Alkitab dan sangat relijius. Istri John Lie adalah Pdt.Margaretha Dharma Angkuw.
Ayahnya (Lie Kae Tae) pemilik perusahaan pengangkutan Vetol (Veem en transport onderneming Lie Kay Thai). John Lie kabur ke Batavia karena ingin menjadi pelaut. Di kota ini, sembari menjadi buruh pelabuhan, ia mengikuti kursus navigasi. Setelah itu John Lie menjadi klerk mualim III pada kapal Koninklijk Paketvaart Maatschappij, perusahaan pelayaran Belanda. Pada 1942, John Lie bertugas di Khorramshahr, Iran, dan mendapatkan pendidikan militer.
Ketika Perang Dunia II berakhir dan Indonesia merdeka, dia memutuskan bergabung dengan Kesatuan Rakyat Indonesia Sulawesi (KRIS) sebelum akhirnya diterima diAngkatan Laut RI. Semula ia bertugas di Cilacap, Jawa Tengah, dengan pangkat Kapten. Di pelabuhan ini selama beberapa bulan ia berhasil membersihkan ranjau yang ditanam Jepang untuk menghadapi pasukan Sekutu. Atas jasanya, pangkatnya dinaikkan menjadi Mayor. Kemudian dia memimpin misi menembus blokade Belanda guna menyelundupkan senjata, bahan pangan, dan lainnya. Daerah operasinya meliputi Singapura, Penang, Bangkok, Rangoon, Manila, dan New Delhi.
Ia lalu ditugaskan mengamankan pelayaran kapal yang mengangkut komoditas ekspor Indonesia untuk diperdagangkan di luar negeri dalam rangka mengisi kas negara yang saat itu masih tipis. Pada masa awal (tahun 1947), ia pernah mengawal kapal yang membawa karet 800 ton untuk diserahkan kepada Kepala Perwakilan RI di Singapura, Utoyo Ramelan.
Sejak itu, ia secara rutin melakukan operasi menembus blokade Belanda. Karet atau hasil bumi lain dibawa ke Singapura untuk dibarter dengan senjata. Senjata yang mereka peroleh lalu diserahkan kepada pejabat Republik yang ada di Sumatera seperti BupatiRiau sebagai sarana perjuangan melawan Belanda.
Perjuangan mereka tidak ringan karena selain menghindari patroli Belanda, juga harus menghadang gelombang samudera yang relatif besar untuk ukuran kapal yang mereka gunakan.
Untuk keperluan operasi ini, John Lie memiliki kapal kecil cepat, dinamakan the Outlaw. Seperti dituturkan dalam buku yang disunting Kustiniyati Mochtar (1992), paling sedikit sebanyak 15 kali ia melakukan operasi “penyelundupan”. Pernah saat membawa 18 drum minyak kelapa sawit, ia ditangkap perwira Inggris. Di pengadilan di Singapura ia dibebaskan karena tidak terbukti melanggar hukum.
Ia juga mengalami peristiwa menegangkan saat membawa senjata semiotomatis dari Johor keSumatera, dihadang pesawat terbang patroli Belanda. John Lie mengatakan, kapalnya sedang kandas. Dua penembak, seorang berkulit putih dan seorang lagi berkulit gelap yang tampaknya berasal dari Maluku, mengarahkan senjata ke kapal mereka. Entah mengapa, komandan tidak mengeluarkan perintah tembak. Pesawat itu lalu meninggalkan the Outlaw tanpa insiden, mungkin persediaan bahan bakar menipis sehingga mereka buru-buru pergi.
Setelah menyerahkan senjata kepada Bupati Usman Effendi dan komandan batalyon Abusamah, mereka lalu mendapat surat resmi dari syahbandar bahwa kapalthe Outlaw adalah milik Republik Indonesia dan diberi nama resmi PPB 58 LB. Seminggu kemudian John Lie kembali ke Port Swettenham di Malaya untuk mendirikan pangkalan AL yang menyuplai bahan bakar, bensin, makanan, senjata, dan keperluan lain bagi perjuangan mempertahankan kemerdekaan Indonesia.
Pada awal 1950 ketika ada di Bangkok, ia dipanggil pulang ke Surabaya oleh KSAL Subiyakto dan ditugaskan menjadi komandan kapal perang Rajawali. Pada masa berikut ia aktif dalam penumpasan RMS (Republik Maluku Selatan) di Maluku laluPRRI/Permesta. Ia mengakhiri pengabdiannya di TNI Angkatan Laut padaDesember1966 dengan pangkat terakhir Laksamana Muda.
Menurut kesaksian Jenderal Besar AH Nasution pada 1988, prestasi John Lie tiada taranya di Angkatan Laut” karena dia adalah ”panglima armada (TNI AL) pada puncak-puncak krisis eksistensi Republik”, yakni dalam operasi-operasi menumpas kelompok separatis Republik Maluku Selatan, Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia, dan Perjuangan Rakyat Semesta.
Kesibukannya dalam perjuangan membuat ia baru menikah pada usia 45 tahun, dengan Pdt. Margaretha Dharma Angkuw. Pada 30 Agustus 1966 John Lie mengganti namanya dengan Jahja Daniel Dharma.
Patung John Lie di Taman Mini Indonesia Indah (Anjungan Tionghoa)
Ia meninggal dunia karena stroke diusia 77 tahun pada tanggal 27 Agustus1988 dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta. John Lie mendapat tempat yang istimewa dihati masyarakat Tionghoa Indonesia, dan juga menerima penghormatan yang tinggi dari masyarakat Tionghoa dan pemerintah Indonesia. Atas segala jasa dan pengabdiannya, ia dianugerahi Bintang Mahaputera Utama oleh Presiden Soeharto pada 10 Nopember1995, Bintang Mahaputera Adipradana dan gelar Pahlawan Nasional oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 9 November2009.
Terdapat beberapa buku dan liputan mengenai John Lie, sebagai berikut:
1. “Guns—And Bibles—Are Smuggled to Indonesia”, yang terbit pada 26 Oktober 1949, oleh Roy Rowan, wartawan majalah Life.
2. “John Lie Penembus Blokade Kapal-kapal Kerajaan Belanda” yang terbit pada 1988, oleh Solichin Salam.
3. “Dari Pelayaran Niaga ke Operasi Menembus Blokade Musuh Sebagaimana Pernah Diceritakannya Kepada Wartawan” yang dimuat dalam buku “Memoar Pejuang Republik Indonesia Seputar ‘Zaman Singapura’ 1945-1950” karya Kustiniyati Mochtar terbitan Gramedia Pustaka Utama, 2002. “Memenuhi Panggilan Ibu Pertiwi: Biografi Laksamana Muda John Lie” (2008), yang diterbitkan Penerbit Ombak, Yogyakarta dan Yayasan Nabil, oleh M Nursam.
3.Siauw Giok Tjhan
Siauw Giok Tjhan dilahirkan di Kapasan, Simokerto, Surabaya, Jawa Timur, pada tanggal 23 Maret1914. Ia adalah seorang politikus, pejuang, dan tokoh gerakan kemerdekaanIndonesia. Ayahnya bernama Siauw Gwan Swie, seorang peranakan Tionghoa, dan ibunya Kwan Tjian Nio. Siauw Giok Tjhan memiliki adik bernama Siauw Giok Bie.
“Lahir di Indonesia, Besar di Indonesia menjadi Putra-Putri Indonesia” adalah semboyan yang untuk pertama-kalinya dikumandangkan Kwee Hing Tjiat melalui Harian MATAHARI di Semarang sejak tahun 1933-1934. Semboyan ini benar-benar menjadi keyakinan hidup Siauw Giok Tjhan sejak masa muda, berjuang menjadi putra ter-baik Indonesia yang tidak ada bedanya dengan putra-putra Indonesia bersuku lainnya dalam usaha dan memperjuangkan kemerdekaan dan kebahagiaan hidup bersama.
Siauw Giok Tjhan memasuki kancah politik nasional Indonesia melalui proses pembentukan Partai Tionghoa Indonesia (PTI) yang dipelopori oleh Liem Koen Hian pada tahun 1932. Berusia 18 tahun, Siauw menjadi salah seorang pendiri PTI termuda.
PTI berkembang sebagai aliran terbaru di dalam komunitas Tionghoa di zaman Hindia Belanda. Ia mendorong semua Tionghoa di kawasan Hindia Belanda, terutama yang lahir di sana, untuk menerima Indonesia sebagai tanah airnya. Argumentasinya, menurut perspektif masa kini, sangat masuk di akal.
Orang Tionghoa pada umumnya lahir, hidup, dan meninggal di Indonesia. Setelah hidup bergenerasi, kaitan dengan Tiongkok semakin berkurang. PTI mendukung berdirinya GERINDO (Gerakan Rakyat Indonesia) pada tanggal 18 Mei 1937, yang berdasarkan keputusan Kongres di Palembang.
Keteguhan dan kekerasan jiwa dalam memperjuangkan keadilan tumbuh dalam lingkungan hidup yang harus dihadapi. Terutama setelah kedua orang tuanya meninggal dalam usia muda, ia terpaksa melepaskan sekolah begitu selesai HBS, untuk mencari nafkah meneruskan hidupnya bersama adik tunggalnya, Siauw Giok Bie yang masih harus meneruskan sekolah itu. Siauw Giok Tjhan sejak kecil sudah mempunyai watak perlawanan atas penghinaan dan ketidakadilan yang menimpa diri dan kelompok etnisnya.
Kemahiran kung-fu yang dipelajari dari kakeknya memungkinkan Siauw Giok Tjhan untuk berkelahi melawan anak-anak Belanda, Indo, dan Ambon yang mengejek dirinya. Istilah “cina loleng” adalah salah satu penghinaan yang biasa dilontarkan untuk etnis Tionghoa. Begitu keras dan disiplinnya, ia tidak menggunakan milik umum untuk kepentingan diri sendiri dan keluarganya.
Ketika istrinya, Tan Gien Hwa, berada di Malang pada September 1947 dan hendak melahirkan anak ke-4. Adik satu-satunya, Siauw Giok Bie hendak menggunakan mobil Palang Biru.
Ia melarang Siauw Giok Bie untuk mengantar istrinya ke rumah sakit dengan menggunakan fasilitas umum. Palang Biru adalah organisasi Angkatan Muda Tionghoa untuk memberikan pertolongan pertama kepada prajurit-prajurit yang terluka di garis depan melawan agresi militer Belanda. Beruntung, sekalipun harus diantar dengan naik becak, istri bisa melahirkan Siauw Tiong Hian dalam keadaan selamat.
Pada saat ia dilantik menjadi menteri negara Urusan Minoritas oleh KabinetAmir Syarifudin, Siauw Giok Tjhan yang belum mendapatkan mobil menteri, hanya bisa naik andong (keretakuda) untuk ke Istana. Tapi malang, ternyata andong dilarang memasuki halaman Istana, terpaksa ia turun dari andong dan dengan jalan kaki masuk Keraton Yogyakarta.
Pada saat itu ia juga terbentur dengan masalah rumah tinggal. Ternyata tidak ada perumahan pemerintah yang bisa diberikan kepadanya sebagai menteri negara. Pada saat itu, menteri yang datang dari luar Yogyakarta, boleh tinggal di Hotel Merdeka. Tapi untuk menghemat pengeluaran uang negara, Siauw memilih tinggal di gedung kementerian negara, di Jalan Jetis, Yogya, dan harus tidur di atas meja tulis.
Kesederhanaan hidup sehari-hari, sebagaimana biasa kemana-mana hanya mengenakan baju kemeja-tangan pendek, yang lebih sering terlihat hanya berwarna putih, celana-drill pantalon dan bersepatu sandalet saja itu, ia harus berkali-kali dianggap sebagai orang kere yang tidak perlu dilayani oleh noni-noni pejabat administrasi kenegaraan Indonesian pada saat ia harus menemui Menteri-Menteri atau Presiden-DirekturBank.
Siauw Giok Tjhan pernah menjadi ketua umum Baperki, Menteri Negara, anggota BP KNIP, anggota parlemen RIS,parlemen RI sementara, anggota DPR hasil pemilu 1955/anggota Majelis Konstituante, anggota DPRGR/MPR-S, dan anggota DPA.
Dalam menghadapi persoalan Tionghoa di Indonesia, Siauw Giok Tjhan menganut konsep Integrasi yaitu konsep menjadi Warga Negara dan menjadi bagian darimasyarakat Indonesia yang terdiri dari beragam suku dan budaya tanpa menghilangkan identitas budaya dan suku dari masing masing komponen masyarakat termasuk masyarakat Tionghoa. Konsep Integrasi yang diperjuangkan oleh Siauw Giok Tjhan ini sangat identik dengan teori “pluralisme” atau “multikulturalisme”. Menurut Siauw Giok Tjhan, Indonesian Race (Ras Indonesia) tidak ada, yang ada adalah “Nasion” Indonesia, yang terdiri dari banyak suku bangsa.
Berpijak di atas prinsip ini, Siauw mengemukakan bahwa setiap suku berhak tetap mempertahankan nama, bahasa dan kebudayaannya, dan juga bekerja sama dengan suku-suku lainnya dalam membangun Indonesia.
Konsep ini kemudian diterima oleh Bung Karno pada tahun 1963, yang secara tegas menyatakan bahwa golongan Tionghoa adalah suku Tionghoa dan orang Tionghoa tidak perlu mengganti namanya, ataupun agamanya, atau menjalankan kawin campuran dengan suku non-Tionghoa untuk berbakti kepada Indonesia.
Siauw Giok Tjhan menentang konsep asimilasi yang dikembangkan oleh Lembaga Pembina Kesatuan Bangsa (LPKB), dibawah kepemimpinan Kristoforus Sindhunata pada awal 1960-an yang bermaksud golongan Tionghoa menghilangkan ke-Tionghoa-annya dengan menanggalkan semua kebudayaan Tionghoa, mengganti nama-nama Tionghoa menjadi nama-nama Indonesia dan kawin campur antar ras.
Siauw tidak menentang proses asimilasi yang berjalan secara suka-rela dan wajar, yang ia tentang adalah proses pemaksaan untuk menghilangkan identitas sebuah golongan, karena menurutnya usaha ini bisa meluncur ke genosida, seperti yang dialami oleh golongan Yahudi pada masa Perang Dunia ke II.
Sejarah membuktikan bahwa akibat dari itu semua akhirnya meledak pada Kerusuhan Mei 1998, dimana terjadi pembunuhan, penjarahan dan pemerkosaan terhadap kelompok minoritas Tionghoa.
Siauw Giok Tjhan adalah ketua umum Badan Permusjawaratan Kewarganegaraan Indonesia (BAPERKI). Pada tahun 1958 Jajasan Pendidikan dan Kebudajaan Baperki mulai berpikir untuk mendirikan sebuah perguruan tinggi. Rektor pertama Universitas Baperki ini adalah Ferdinand Lumban Tobing, seorang dokter yang pernah menjadi menteri dalam beberapa kabinet di masa demokrasi parlementer.
Pada tahun itu dibuka Akademi Fisika dan Matematika, Kedokteran Gigi, dan Teknik. Pada 1962 dibuka Fakultas Kedokteran dan Sastra. Pada 1962, nama Universitas Baperki diubah menjadi Universitas Res Publica yang biasa disingkat sebagai URECA. Setelah peristiwa G30S, Universitas Res Publica ditutup, dan gedungnya diambil alih oleh pemerintah.
URECA di Jakarta kemudian dibuka kembali dengan kepengurusan yang baru, dengan nama Universitas Trisakti. Setelah tragedi Gerakan 30 September 1965, Baperki dibubarkan oleh pemerintah Orde Baru karena dituduh sebagai onderbouw Partai Komunis Indonesia. Siauw Giok Tjhan dan Oei Tjoe Tat dijebloskan ke penjara tanpa pernah diadili, namun ia lalu bebas beberapa tahun kemudian. Siauw Giok Tjhan wafat di Belanda pada tanggal 20 November 1981 pada umur 67 tahun, beberapa menit sebelum memberikan ceramah di Universitas Leiden.
4.Sie Kien Lien
Nama Ferry Sie King Lien memang tidak begitu dikenal, kisah hidupnya juga hampir tidak pernah dibahas. Namun saya ingin agar bangsa Indonesia tidak pernah melupakan seorang pemuda Tionghoa berusia 16 tahun yang mengorbankan dirinya hingga tewas diterjang rentetan peluru Belanda.
Sie King Lien berasal dari keluarga yang mapan, dia merupakan kemenakan pemilik pabrik gelas di Kartodipuran. Meski hidup serba berkecukupan, namun Sie King Lien bersedia turut serta membela Indonesia dari penjajahan. Ia adalah Tentara Pelajar yang ditugasi menjalani misi perang urat saraf.
Perang urat saraf ini sangat penting bagi perjuangan Indonesia, yakni menurunkan moril dan menangkis propaganda yang dilancarkan Belanda. Tak hanya itu, tindakan ini dilakukan untuk menunjukkan bahwa pemerintah RI masih eksis di Kota Solo. Sie Kien Lien ditugasi bersama keempat rekannya, yakni Soehandi, Tjiptardjie, Salamoen, dan Semedi. Mereka memiliki misi khusus, yakni mencoret-coret tembok dan menyebarkan selebaran yang berisi perlawanan terhadap Belanda.
Salah satu coretan yang paling mengena saat itu adalah eens kompt de dag dat Republik Indonesia zal herrijzen yang berarti ‘pada suatu hari Republik Indonesia akan muncul kembali’.
Nahas, nasib anggota Tentara Pelajar Subwehrkreise 106 Arjuna ini berakhir ketika dia dan keempat temannya disergap Belanda. Meski membawa sebuah senapan mesin, namun mereka kalah jumlah. Apalagi, serdadu Belanda telah mengarahkan senjatanya ke arah mereka. Kontak tembak terjadi, sejumlah peluru mengenai tubuh Sie King Lien dan Soehandi. Keduanya tewas di tempat, namun ketiga rekannya berhasil lolos.
Berkat perjuangannya, pemerintah Indonesia memutuskan memindahkan makamnya dari pemakaman umum ke Taman Makam Pahlawan Taman Bahagia, Solo.
Kisah Ferry Sie King Lien ditulis dalam buku Tionghoa Dalam Sejarah Kemiliteran: Sejak Nusantara Sampai Indonesia yang ditulis Iwan Sentosa dan diterbitkan Yayasan Nabil dan Kompas Gramedia terbitan 2014.
5.Djiaw Kie Siong
Nama Djiaw Kie Siong tidak begitu dikenal, sehingga tidak banyak orang yang tidak tahu bahwa dia adalah pemilik rumah diDusun Bojong, Rengasdengklok, Kabupaten Karawang, tempat Bung Karno dan Bung Hatta disembunyikan oleh para pemuda (Adam Malik, Chaerul Saleh, Sukarni) yang menculik mereka dan menuntut agar kemerdekaan Indonesia diproklamasikan segera. Di rumah Djiaw Kie Siong pula naskah proklamasi kemerdekaan Indonesia dipersiapkan dan ditulis.
Proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia bahkan rencananya akan dibacakan Bung Karno dan Bung Hatta pada hari Kamis,16 Agustus1945 di Rengasdengklok, di rumah Djiaw Kie Siong itu.
Bendera Merah Putih sudah dikibarkan para pejuang Rengasdengklok pada Rabu tanggal 15 Agustus, karena mereka tahu esok harinya Indonesia akan merdeka. Ketika naskah proklamasi akan dibacakan, tiba-tiba pada Kamis sore datanglah Ahmad Subardjo. Ia mengundang Bung Karno dkk. berangkat ke Jakarta untuk membacakan proklamasi di Jalan Pegangsaan Timur 56.
Selain kedua “Bapak Bangsa” itu, saat itu rumah itu ditinggali pula oleh Sukarni Yusuf Kunto, dr. Sutjipto, Ibu Fatmawati,Guntur Soekarnoputra, dan lainnya selama tiga hari, pada 14 – 16 Agustus1945.
Djiaw Kie Siong adalah seorang petani kecil keturunan Tionghoa. Ia merelakan rumahnya ditempati oleh para tokoh pergerakan yang kelak menjadi “Bapak Bangsa”. Hingga kini rumahnya masih dihuni oleh keturunannya. Djiaw Kie Siong pernah berwasiat, keluarga yang menempati rumah bersejarah itu harus bersabar.
Tak dibolehkan merengek minta-minta sesuatu kepada pihak mana pun. Bahkan, harus rela setiap hari menunggui rumah mereka demi memberi pelayanan terbaik kepada para tamu yang ingin mengetahui sejarah perjuangan bangsa.
Djiaw Kie Siong meninggal dunia pada 1964. Namanya praktis hampir tidak dikenal ataupun tercatat dalam sejarah. Namun, Mayjen Ibrahim Adjie pada saat masih menjabat sebagai Pangdam Siliwangi, pernah memberikan penghargaan kepada Djiaw dalam bentuk selembar piagam nomor 08/TP/DS/tahun 1961.
6.Lie Eng Hok
Lie Eng Hok dilahirkan di Balaraja, Tangerang, Banten, pada tanggal 7 Februari1893. Ia adalah seorang Perintis KemerdekaanIndonesia. Ia adalah sahabat karib Wage Rudolf Supratman, temannya di surat kabar berbahasa Melayu-Tionghoa. Dari W.R.Supratman, ia belajar banyak tentang cita-cita kebangsaan. Semasa muda Lie aktif sebagai wartawan Surat Kabar Sin Po.
Lie Eng Hok merupakan salah seorang tokoh di balik pemberontakan 1926 di Banten. Dalam peristiwa itu, massa pribumi bergerak melakukan perusakan jalan, jembatan, rel kereta api, instalasi listrik, air minum, rumah-rumah, dan kantor milik pemerintah kolonial Hindia Belanda.
Pemberontakan ini dilakukan sebagai bentuk perlawanan terhadap pemerintahan yang menindas. Lie Eng Hok yang berperan sebagai kurir kaum pergerakan, ditahan Pemerintah Kolonial Belanda dan dibuang keBoven Digoel (Tanah Merah), Papua, selama lima tahun (1927-1932). Selama di Boven Digoel, Lie Eng Hok menolak bekerja untuk pemerintah kolonial Belanda dan lebih memilih membuka kios tambal sepatu untuk memenuhi biaya hidupnya.
Lie Eng Hok meninggal pada 27 Desember1961 di Semarang pada usia 68 tahun. Ia dimakamkan di pemakaman umum diSemarang. Dua puluh lima tahun kemudian, kerangka Lie Eng Hok dipindahkan ke Taman Makam Pahlawan Giri Tunggal,Semarang, melalui Surat Pangdam IV Diponegoro No.B/678/X/1986.
Atas jasa-jasanya pada bangsa dan negara Indonesia, Lie Eng Hok diangkat sebagai Pahlawan Perintis KemerdekaanRIberdasarkan SK Menteri Sosial RI No. Pol. 111 PK tertanggal 22 Januari 1959.
7.Oei Tjong Hauw
Oei Tjong Hauw adalah putra dari konglomerat gula Oei Tiong Ham dan penerus usaha Kian-gwan Kongsi. Oei Tjong Hauw berhasil membawa Oei Tiong Ham Concern melewati masa-masa sulit, yaitu “malaise” atau Depresi Besar yang melanda dunia pada akhir dekade 1920-an sampai awal 1930-an, pendudukan Jepang (PD II) dan Perang Kemerdekaan (1945-1949). Berhasilnya Oei Tiong Ham Concern melewati masa-masa sulit, khususnya masa Perang Kemerdekaan/Revolusi ini, antara lain dikarenakan Oei Tjong Hauw (sebagai generasi kedua) tidak hanya berkutat di dunia bisnis saja, namun juga aktif di bidang politik.
Ia diangkat menjadi ketua partai Chung Hwa Hui (CHH), partai kaum peranakan Tionghoa yang berpendidikan Belanda, yang dibentuk tahun 1928. Oei Tjong Hauw juga menjabat sebagai anggota BPUPKI pada tahun 1945, sebagai wakil dari golongan minoritas Tionghoa.
Aktivitas Tjong Hauw di bidang politik ini membuatnya memiliki relasi yang cukup banyak dari berbagai kalangan, termasuk para tokoh politik Indonesia.
Oei Tjong Hauw meninggal mendadak akibat serangan jantung pada tahun 1950.
8.Yap Tjwan Bing
Yap Tjwan Bing adalah seorang sarjana Farmasi dan apoteker yang juga dosen dan anggota Dewan Kurator ITB Bandung. Tahun 1945 terpilih menjadi salah satu anggota PPKI. Setelah kemerdekaan, ia bergabung dengan PNI.
Namanya diabadikan menjadi salah satu ruas jalan di kota Surakarta menggantikan Jalan Jagalan yang diresmikan oleh Walikota Surakarta H. Ir Joko Widodo pada tanggal 22 Februari 2008 dalam rangka Imlek Bersama di kota Solo.
9.Letnan Kolonel (Purn) Ong Tjong Bing
Ong Tjong Bing atau Daya Sabdo Kasworo adalah seorang pejuang Tionghoa yang bertugas dibidang medis. Dia merupakan salah satu dokter yang merawat korban pertempuran 10 November 1945 yang dibawa ke Malang. Ong Tjong Bing lahir di Desa Kerebet.
Beliau mengikuti pendidikan tekniker gigi dan dokter gigi, ia kemudian bergabung dengan militer pada 1953 sebagai pegawai sipil. Dia mulai menyandang pangkat militer sebagai kapten pada 1955 di bawah Resimen Infanteri RI-18 Jawa Timur.
Dalam operasi anti PRII-Permesta, DI-TII hingga Operasi Mandala-Trikora, dia sempat dikepung gerombolan DI-TII di Jawa Barat. Ia juga diminta untuk menggalang masyarakat Tionghoa Pekanbaru saat operasi PRII-Permesta hingga akhirnya diminta mendirikan RS militer di Soekarnopura (Jayapura) dan RS sipil di kota tersebut. Dia adalah kepala Kesehatan Kodam (Kesdam) Cendrawasih pertama.
Menpangad Jenderal Ahmad Yani beserta sejumlah asisten mengenalnya secara pribadi dan selalu mengabulkan permintaan Tjong Bing alias Kasworo. Dia pun turut dalam sejumlah patroli garis depan dan memegang senjata langsung termasuk menghadapi kelompok “Merah” (Komunis) seperti dalam tanggap bencana letusan Gunung Agung di Bali.
Dia berharap generasi muda Tionghoa tidak trauma dengan peristiwa 1965 dan berperan di masyarakat dalam beragam sendi kehidupan dan tidak hanya terlibat di dunia perdagangan belaka. Dia pensiun di tahun 1976 dengan pangkat Letnan Kolonel.
Keputusannya terjun dibidang militer tidak pernah disesali oleh pria yang kemudian menjadi ketua Kelenteng di Malang.
10.Tan Ping Djiang
Tan Ping Djiang adalah seorang dokter dan aktivis penentang Belanda, meskipun istrinya berkebangsaan Belanda. Ia dengan lantang memerintahkan seorang komandan Belanda untuk memberitahu HJ van Mook bahwa Indonesia dan Asia sudah merdeka. ”Kasih tahu Van Mook, Belanda silakan mundur dari Indonesia,” demikianlah ucapan Tan Ping Djiang. Ia tewas ditembak oleh tentara Belanda.
11.Tan Bun Yin
Tan Bun Yin adalah salah seorang pejuang kemerdekaan dari etnis Tionghoa. Ia diperintahkan untuk membalas dendam kepada seorang mayor Kerajaan Hindia Belanda (KNIL) yang telah menembak mati dokter Tan Ping Djiang, republiken penentang Belanda saat Clash II pada 1949. Mayor Belanda yang memerintahkan eksekusi dokter Tan tersebut, ditembak dari jarak dekat di Restoran Baru di dalam Kota Tulung Agung sebelah barat alun-alun oleh oleh Tan Bun Yin.
10.Oei Hok San
Oei Hok San adalah mantan tentara pelajar di Kediri, Jawa Timur. Ia adalah putra dari Oei Djing Swan, seorang Tionghoa yang memerintahkan pejuang Tan Bun Yin untuk membunuh seorang komandan Belanda sebagai aksi balas dendam atas ditembaknya dokter Tan Ping Djian.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar